Minggu, 06 Juli 2014

GLOBALISASI DAN DIALOG ANTAR BUDAYA - SEBUAH KAJIAN SOSIAL



GLOBALISASI DAN DIALOG ANTAR BUDAYA - SEBUAH KAJIAN SOSIAL
Oleh
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT


ABSTRAK
       Paper ini mendiskusikan tiga hal inti dalam jantung globalisasi dan dialog antar budaya, yaitu pertama: dialog sebagai syarat formasi identitas, kedua; dialog mengandaikan bahasa sebagai media untuk saling mengerti. Ketiga; konstruksi identitas dalam dialog selalu berhubungan dengan nilai-nilai utama menjadi peduli bangsa manusia.
Kata kuci: Globalisasi, Dialog, Identitas, bahasa, bangsa manusia.

GLOBALISASI DAN DIALOG ANTARBUDAYA
       Lewat kendaraan globalisasi, dunia kini ditandai oleh sebuah masyarakat moderen yang multikultural. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dalam globalisasi adalah pertemuan antarbudaya. Apabila ditilik lebih dalam, globalisasi memungkinkan perubahan budaya dalam pertemuan antarbudaya. Sejauh mana perubahan itu terjadi akan tergantung pada bagaimana budaya-budaya mengembangkat siasat dan strategi dalam menyikapi pertemuan itu.
       Mengikuti karakter-karakter globalisasi yang telah saya kemukakan pada abstrak, sejauh pertemuan antar budaya dipertimbangkan, globalisasi menghantar budaya-budaya pada sebuah persimpangan jalan: di suatu pihak, tertutup pada kemungkinan terkontaminasi oleh budaya lain akan memungkinkan pluralitas budaya, tetapi mencegah kemungkinan dialog antar budaya. Dilain pihak, terbuka pada perubahan budaya memnungkinkan kesempatan dialog antar budaya tetapi mengancam keutuhan dan kelangsungan budaya-budaya lokal.
       Diperisimpangan ini, tak jarang suatu kode budaya tertentu sudah tidak ada lagi dalam pertemuan antarbudaya, sehinga yang diperlukan adalah kreatifitas aktor budaya untuk menyiasati pertemuan antarbudaya.
       Meskipun demikian, baik mereka yang mendukiung globalisasi maupun yang skeptis atas globalisasi sebagai konsep sama-sama berpendapat bahwa dalam masyarakat moderen yang multi kultural, hubungan antar budaya global dan budaya lokal sangat penting.
       Bila demikian, bagaimana pertemuan antar budaya dalam globalisasi bisa dipahami? dalam era dimana pluralitas budaya merupakan peristiwa penting yang mendefinisikan zaman kita, identitas selalu menjadi sebuah pertanyaan penting secara khusus dalam perjumpaan antar orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Sebagaimana telah disampaikan diatas bahwa perjumpaan budaya ini pada dasarnya merupakan karakteristik utama moderenitas.
       Menurut Jonathan Sacks, ‘’salah satu transformasi besar dari abad ke-20 menuju abad ke-21 adalah kenyataan bahwa sementara abad ke-20 didominasi oleh politik iedeologi, sedangkan di abad ke-21 kita memasuki sebuah abad  politik identitas (Sacks, 2002:10). Sementara pertemuan antar budaya merupakan sebuah tantangan dan juga masalah bagi formasi identitas di abad globalisasi, pertemuan itu merupakan juga sebuah kesempatan untuk mencari jalan-jalan menujupemahaman dan strategi yang tepat untuk hidup bersama. Hemat saya, tidak ada usaha untuk menganggapi tantangan pluralitas budaya dan agama yang lebih dialog antarbudaya.
       Klaim saya atas dialog antarbudaya dalam perjumpaan budaya-budaya ini diterangi pertimbangan filosofis.budaya merupakan sebuah tantangan dan juga masalah bagi formasi identitas di abad globalisasi, pertemuan itu merupakan juga sebuah kesempatan untuk mencari jalan-jalan menujupemahaman dan strategi yang tepat untuk hidup bersama. Hemat saya, tidak ada usaha untuk menganggapi tantangan pluralitas budaya dan agama yang lebih dialog antarbudaya.
       Klaim saya atas dialog antarbudaya dalam perjumpaan budaya-budaya ini diterangi pertimbangan filosofis yang dilekatkan oleh  satu filusuf dan tokoh multikulturalis yakni Charles Tylor (1994). Tylor membentangkan idenya tentang pendekatan dialogis antarbudaya ketika ia berbicara tentang multikulturalisme sebagai sebuah politik pengakuan (politics of recognitions). Bagi Tylor, ketika kita berbicara tentang politik pengakuan atas eksistensi budaya-budaya, kita berhadapan dengan dua konsep yang sangat berhubungan yakni martabat yang sama (equal dignity) dan penghormatan yang sama (equal respect) (Tylor, 1994; Modood, 2007:51-53).
       Konsep martabat yang sama berhubugnan dengan martabat manusia yang pada dasarnya sama apapun budaya, agama, dan warna kulit. Karena martabat yang sama ini, setiap orang patut diakui hak-haknya yang vital dan mendasar. Dengan kata lain, konsep martabat yang sama berhubungan dengan kesamaan antar manusia. Konsep ini memang penting, tetapi tidaklah cukup mempertimbangkan kesamaan sebagai basis politik pengakuan. Karena itu, Tylor mengajukan konsep penghormatan yang sama. Bila konsep martabat yang sama berhubungan dengan kesamaan, konsep penghargaan yang sama berhubungan dengan pemahaman atas perbedaan antar manusia dan budaya sebagai faktor penting dalam menggagasi konsep institusi hubungan yang sama antarindividu dan budaya.
       Hemat saya, ada tiga pengandaian utama dalam pendekatan dialogis antarbudaya yang diajukan, yaitu:
1.     Pertama
     Dialog merupakan syarat awal dalam formasi identitas. Seperti telah disebutkan, identitas adalah salah satu isu sentral dalam masyarakat pluralistik. Identitas adalah sumber makna hidup dan pengalaman seseorang atau kelompok masyarakat. Karena identitas berhubungan dengan makna hidup dan pengalaman, konstruksi identitas menentukan juga cara orang berpikir tentang ‘siapakah mereka’, ‘dari mana mereka berasal’, ‘bagaimana seharusnya mereka hidup atau coba menhidupi hidup mereka menurut jawaban-jawaban paling tepat yang mereka temukan dalam hidup’.
     Proses untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu merupakan sebuah proses mengartikan dan memaknakan identitas individual dan identitas kolektif. Proses ini hanya mungkin terjadi lewat perjumpaan dialogis dengan yang lain. Dengan kata lain, konstruksi identitas selalu terjadi dalam konteks hubungan, dialog dan pertukaran pemahaman dengan pihak lain. Karena itu, menurut kami, dialog dan hubungan yang terbuka adalah kuci dan alat bagi penemuan diri dalam budaya otentisitas.
     Ketika status dialog dalam hidup publik dipertimbangkan, sebaiknya dialog adalah kewajiban pertama dalam kewarganegaraan setiap warga negara. Dialog karena itu sangat sentral dalam formasi identitas dan politik hidup publik. Atau dengan kata lain, dialog adalah aksi sosial dengan mana aktor-aktor sosial membangun ikatan yang kuat antara satu dengan yang lain. Lebih lanjut, kodrat dialog menyandang di dalamnya benih-benih harapan yang memastikan bahwa ‘no man is an island’ di mana hidup dan esistensi manusia bukanlah sebuah peristiwa yang menyengsarakan karena kesendirian tetapi sebuah peristiwa dalam hubungan dengan hidup bersama yang pantas dirayakan bersama dengan yang lain.
     Meskipun demikian, hubungan antara konstruksi identitas dan pertukaran dialogis bukanlah tanpa pertanyaan. Pendekatan-pendekatan dari aliran teori kritis, misalnya, sering bertanya tentang siapa yang mengkonstruksi identitas individual dan kolektif, dan untuk siapa atau untuk apa konstruksi itu diperuntukkan. Dengan mengangkat pertanyaan ini, kadang masyarakat dipersalahkan dengan tuduhan bahwa identitas dikonstruksi sedemikian mungkin untuk melayani kepentingan-kepentingan tersembunyi. Menangapi kritik itu, saya berpendapat bahwa kritik ini mengabaikan aspek relasional dan karena itu mengasingkan hubungan dinamis antara seorang individual atau satu kelompok dengan masyarakat. Ide dialog pada dasarnya mengakomodasi relasi dinamis ini dan karena itu dialog menerjemahkan martabat perbedaan antarindividu dan budaya.
2.     KEDUA
     Dialog mengandaikan bahasa sebagai media untuk saling mengerti. Bahasa adalah hal yang sangat mendasar dalam hidup manusia dan penggunaannya selalu bersifat sosial dan politis dalam arti membentuk cara-cara interaksi manusia. Lebih dari itu, bahasa adalah satu bidang di mana pengetahuan, pemahaman, dan penafsiran kita atas dunia sosial tercipta dan terbentuk secara aktif. “penggunaan bahasa ada melalui dialog dengan masyarakat: bahasa dihasilkan masyarakat dan (melalui efek penggunaan bahasa pada manusia) bahasa terus saja membantu untuk menciptakan masyarakat secara baru. Bahasa pertama mewakili realita sosial dan kedua mempunyai sumbangan penting demi produksi dan reproduksi realitas sosial atau hidup sosial”. Istilah ‘bahasa-bahasa manusia’, sebagaimana disarankan Tylor, meliputi segala bentuk ekpresi manusia seperti seni, musik dan gerak rakyat. Dialog membutuhkan bahasa untuk memungkinkan orang atau naggota masyarakat untuk saling mengerti. Dengan demikian bahasa sebenarnya sebagai dasar dialogis.
Melalui bingkai dialog, seseorang bersama orang lain bukan lagi dua entitas yang berbeda karena keduanya selalu ada dalam hubungan antar yang satu dengan yang lain. Kesimpulannya jelas: jika bahasa pada dasarnya adalah sosial terutama dalam membentuk interaksi sosial manusia, maka eksistensi manusia tidak bisa berpaling dan melarikan diri dari dialog. Dengan kata lain, bahwa dengan menginvestasi pada dialog, hubungan sosial dipertahankan.
3.     KETIGA
     Kondstruksi identitas dalam dialog selalu berhubungan dengan nilai-nilai utama yang menjadi peduli bangsa manusia. Dengan kata lain, motif dari dan demi dialog adalah tantangan dan problem bersama yang dihadapi bangsa manusia dalam hidup bersama. Sejauh kodrat manusia dipertimbangkan, persoalan yang senantiasa muncul adalah bagaimana membangun jembatan yang kuat antara kesamaan martabat manusa dan perbedaan praktis dalam budaya hidup.

Kesimpulan     
       Dapat dilihat bahwa globalisasi dikemudikan oleh teknologi, ekonomi, politik, dan agama, sedangkan budaya-etnis lain dipaksakan harus mengetahui bahasa tertentu, dan elemen globalisasi tertentu sehingga budaya itu diserap oleh kekuatan-kekuatan itu.
       Semuanya berawal dari dialogis. Dengan dialogis seseorang mempengaruhi orang lain untuk mengikuti ide, gagasan, keinginan, kepentingan dll. Dialogis itu tidak membutuhkan pertemuan langsung tetapi melalui media seperti internet,  tv, telephon dll.
       Seseorang dapat mempengaruhi budaya lain atau dapat mengikuti budaya lain melalui elemen globalisasi. Dia membuka diri dengan menerima budaya lain diawalinya dengan dialogis (conect communications).
Dapat dilihat bahwa globalisasi dikemudikan oleh teknologi, ekonomi, politik, dan agama, yang dipaksakan harus mengetahui bahasa tertentu, dan elemen globalisasi tertentu sehingga budaya itu diserap oleh kekuatan-kekuatan itu.
       Semuanya berawal dari dialogis. Dengan dialogis seseorang mempengaruhi orang lain untuk mengikuti ide, gagasan, keinginan, kepentingan dll. Dialogis itu tidak membutuhkan pertemuan langsung tetapi melalui media seperti internet,  tv, telephon dll.
       Seseorang dapat mempengaruhi budaya lain atau dapat mengikuti budaya lain melalui elemen globalisasi. Dia membuka diri dengan menerima budaya lain diawalinya dengan dialogis (conect communications).




PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME SEBUAH KAJIAN SOSIAL BUDAYA LOKAL DAN GLOBAL

PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME SEBUAH KAJIAN SOSIAL BUDAYA LOKAL DAN GLOBAL

oleh
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT


Abstrak
      Paper ini mendiskusikan tentang  kajian akan  benturan budaya lokal non-kapitalisme dan globalisasi pasar bebas sebagai dominasi budaya kapitalisme pada dunia nanti. Melalui analisis akan pergerakan dan arahnya, penulis mengungkapkan bahwa  dalam penerapan pasar global, akan mengakibatkan terjadinya peleburan besar-besaran terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa atau Negara menjadi sosial, buday, ekonomi dan politik global. Selain peleburan budaya, akan adanya pengeksploitasian besar-besaran terhadap tenaga kerja dari Negara-negara non-kapitalisme oleh kaum kapitalisme untuk mendukung kinerja pemodal multiglobalisasi, sehingga suatu bangsa atau Negara non-kapitalisme yang tadinya bisa merangkak perlahan untuk menyaingi Negara-negara kapitalisme dengan satu atau dua orang tenaga ahli mereka akan  menjadi mandeg, karena kekurangan tenaga ahli yang mampu menggerakkan pergerakan negaranya dikancah globalisasi.
Kata Kunci : Globalisasi, Pasar Bebas, Budaya Dominasi, Kapitalisme.
  1. PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME.
        Kajian terhadap globalisasi pasar bebas ini sebagai suatu gejala dominasi budaya baru. Ini menurut kami bahwa globalisasi pasar bebas merupakan suatu gejala dominasi budaya yang mana bukan sekedar fenomena perubahan style atau fashion belaka, melainkan ini akan menjadi suatu fenomena sejarah. Inti daripada kajian ini adalah mengungkapkan suatu transformasi sosial simbolik dalam ruang kebudayaan dengan transformasi historis dalam model kapitalisme global. Model kapitalime ini merupakan suatu penetrasian dan kolonisasi terhadap model-model sosial lokal sebagai budaya dari sebuah Negara atau bangsa, dengan ketidak sadaran (unconciousness), yakni berupa penghancuran system sosial budaya pra-kapitalis dan kelahiran globalisasi pasar bebas sebagai budaya kaptalisme yang mendominasi.
        Mengikuti akar tahapan perubahan momen pasar global sebagai suatu pengarahan akan dominasi budaya kapitalisme, maka kami mencoba mengkaji dengan menganalisis social budaya suatu bangsa atau Negara dengan mencoba mensejajarkannya pada pasar global yang mana merujuk pada suatu dominasi budaya yang kapital, bahwa peralihan struktur daripada sosial budaya suatu Negara atau bangsa akan bergantung pada cepat atau lambatnya daya cerap bangsa atau Negara  itu sendiri dan juga akan tercermin dalam perubahan kebudayaan mereka, karena terlihat bahwa hubungan ini begitu sangat kompleks.
          Menurut kami, dalam era globalisasi atau pasar bebas ini, akan terjadi ledakan kebudayaan yang sangat luarbiasa, biasnya disegala aspek kehidupan masyarakat diseluruh duni yang mungkin pernah disebut oleh Jameson, sebagai (dominasi buday). Dominasi budaya ini pada akhirnya serta merta akan memaksa dan mensubtitusikan setiap nilai-nilai budaya suatu bangsa atau Negara tertentu untuk mengikutinya.
           Didalam globalisasi dan pasar bebas seperti begini, konsep bangsa atau Negara seperti konsep sosial budaya mereka mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam ruang sosial budaya bangsa atau Negara yaitu (ruang ekonomi bangsa atau Negara, ruang budaya bangsa atau Negara, ruang politik bangsa atau Negara) akan dilebur menjadi ruang ekonomi global, ruang budaya global, dan ruang politik global. Inilah masa-masanya yang boleh dikatakan bahwa ruang-ruang bangsa atau Negara akan menjadi runtuh. Yaitu ruang ekonomi bangsa atau Negara, ruang sosial, ruang budaya, dan ruang politik bangsa atau Negara, akan diubahkan atau dilebur kedalam suatu sistem yaitu sistem globalisasi. Salah satu persoalan utama yang perlu diperhatikan lagi bahwa semua ini akan beralih menjadi sesuatu yang global apabila kesemuanya dapat mampu bersaing pada pasar global sebagaimana Negara-negara kapitalisme, akantetapi jikalau tidak mampu bersaing, maka sistem globalisasi ini merupakan suatu sistem yang terpuruk bagi Negara-negara non-kapitalisme. Dengan kata lain bahwa sosial, budaya, ekonomi, politik yang kuat akan tetap ada dan bersaing, tetapi yang lemah atau tidak mampu bersaing, akan hilang atau mengalami suatu diskriminasi sosial, budaya, ekonomi dan politik besar-besaran.
       Segala batasan-batasan sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal, sebagai produksi suatu bangsa sebelumnya yang dikenal sebagai falsafah dan identitas mereka akan diterabas. Tidak ada lagi kononisasi atau institusionalisasi akademisi terhadap produk ini. Menurut kami, pasar global sebagai budaya kapitalisme, karena “semua produk-produk sebuah bangsa atau Negara seperti sosial, budaya, ekonomi dan politik mereka, akan terintegrasi dalam produk-produk global”.
       Pasar global sebagai dominasi budaya kapitalis ini akan memaksa segala sesuatu yang lokal untuk dilebur agar menjadi sesuatu yang global dengan tujuan untuk disejajarkan dengan sesuatu yang global agar supaya mampu menduduki kesetaraan globalisasi sebagai tuntutan utama sehingga mendorong budaya kapitalisme untuk berinovasi yang baru. Era globalisasi ini akan ditandai oleh komodifikasi besar-besaran dihampir seluruh ruang kehidupan, baik terhadap alam fisik maupun terhadap tubuh manusia juga. Dengan kata lain, dominasi pasar global adalah suatu dominasi budaya pasar global yang terjadi secara struktural dengan menampilkan suatu representasi kultural kapitalisme global dan ideologi kapitalisme global.  Hal ini akan semakin menarik bagi kaum kapitalisme sebagai pemain utama, sedangkan kaum non-kapitalisme akan sebagai orang yang merasa didiskriminasikan, dan tergolong kaum yang lemah bahkan disakiti dan inilah suatu tragedi yang memilukan. Kaum non-kapitalis ini secara sosial akan kita sebut  sebagai kaum “konsumen”.
            Ada beberapa elemen-elemen baru dalam globalisasi pasar bebas nanti, yaitu:
Pertama : Akan munculnya formasi-formasi global yang baru, organisasi-organisasi yang bersifat global, dan transglobalisasi yang mendominasi dunia dan monopoli sebagai ruang-ruang lokal sebagai batas-batas tersendiri.
            Kedua : Globalisasi sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam tatanan dunia kapitalisme global yang baru dan ini tidak akan terikat pada satu Negara, tetapi akan memberi suatu nuansa keuntungan kepada Negara tertentu yang mana direpresentasikan dalam bentuk suatu kekuasaan dan pengaruh yang begitu besar ketimbang suatu Negara (non-kapitalis) manapun. Globalisasi ini juga akan berlaku dalam kerja yang memungkinkan adanya eksploitasi besar-besaran yang terus berlanjut terhadap para tenaga ahli dan pekerja dinegara-negara miskin guna mendukung kinerja modal multiglobalisasi. Dalam hal ini akan merujuk bahwa semua akan mengarah kesana dan banyak yang tersedot oleh aliran dunia ketiga yang sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim meliputi krisis buruh tradisional dan kelas elit pada skala global.
  1. TRANSISI BUDAYA-BUDAYA LOKAL NEGARA NON-KAPITALISME DALAM DOMINASI BUDAYA KAPITALISME GLOBAL
         Budaya-budaya lokal Negara-negara non-kapitalisme sekarang ini sebagai budaya yang sedang berada dalam keadaan transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari budaya lokal dan tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju suatu persaingan dalam dominasi budaya kapitalisme global industri moderen yang materialistik. Ditengah budaya-budaya lokal , warna kehidupan budaya tradisionalnya sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan budaya kapitalisme global, walaupun corak kehidupan budaya lokal Negara-negara non-kapitalis tidak lenyap sama sekali. Dalam terminologi keadaan budaya lokal Negara non-kapitalis ini, dikategorikan sebagai budaya yang sedang bergerak dari bentuk kebudayaan yang penuh solidaritas lokal dan rasa memiliki yang hakiki akan terpaksa dileburkan kedalam budaya global. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat sosial lokal dan tingkat sosial global.

         Fenomena kegalauan seperti ini akan tidak berada disini dan tidak pula berada disana, tidak dalam budaya tradisional yang sudah mulai ditinggalkannya dan tidak pula dalam budaya global yang sedang merasukinya. Ada beberapa hal yang akan mempengaruhi ketidak eksistensian budaya lokal Negara-negara non-kapitalisme yaitu:
  1. 1. Penduduk Lokal cepat terpengaruh dan berkecenderungan untuk menkonsumsi budaya Global sebagai sebuah style yang baru.
  2. 2. Ketidak mampuan budaya-budaya lokal non-kapitalis untuk bersaing dalam budaya global kapitalisme.
  3. 3. Adanya penekanan budaya global kapitalisme yang cenderung mendominasi budaya non-kapitalisme sehingga dengan terpaksa budaya non-kapitalisme dihilangkan.
  4. 4. Penerapan aturan-aturan global yang tidak seimbang.
         Budaya local yang terlihat paling cepat dalam perubahan dan ketidak eksistensinya adalah Negara-negara yang suka menkonsumtif. Oleh karena budaya lokal yang sudah banyak mengadopsi budaya konsumtif sehingga untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada budaya lokal tidak mungkin lagi, karena dianggap tidak cocok dan ketinggalan zaman, tetapi untuk menginggalkannya secara keseluruhan juga tidak mungkin, karena model kebudayaan global pun belum begitu jelas dalam sistem gagasan budaya lokal  secara jelas.
       Dalam keadaan seperti itu, membuat budaya-budaya Negara non-kapitalis cenderung untuk menmungut simbol-simbol global budaya kapitalisme baru yang diambil secara sepotong-sepotong dan sementara itu juga dipilihnya sebagai simbol style baru yang ada untuk tetap dipertahankan, walaupun tidak sadar bahwa budaya lokalnya telah terintegrasi. Kelihatannya bahwa Negara non-kapitalis yang kurang berkonsentrasi dan kurang percaya diri dalam mempertahankan keeksistensian budaya local mereka akan tersedot kedalam budaya kapitalis secara gampang, karena kecenderungan dalam mengadopsi sesuatu yang asing sudah membudaya. Mereka akan mengadopsi kedua sistem budaya itu secara bersama, walaupun yang diambil umumnya hanya unsur-unsur budaya yang dipandang hanya bermanfaat guna kepentingan tertentu saja. Unsur-unsur budaya yang diambil dan dipertahankan itu cenderung lebih banyak memuat nuansa kebendaan (materi) dibandingkan dengan makna yang tersembunyi dibalik unsur-unsur budaya itu, akibatnya, beberapa unsur budaya asing yang oleh negara kapitalis sudah dipandang sebagai sesuatu yang sudah harus ditinggalkan, ternyata di Negara non-kapitalis kemungkinan malahan menjadi bagian dari kehidupan baru yang dijalani masyarakat.
          Salah satu ciri dari perilaku konsumtif adalah kecenderungan untuk meninggalkan sesuatu yang menjadi miliknya dan tergiur dengan hal-hal global yang asing. Budaya mengkonsumsi sesuatu ini bukan karena mereka memang betul-betul membutuhkannya, tetapi lebih banyak karena mereka merasa membutuhkannya. Barang yang dikonsumsi itu bukan lagi dimiliki dari fungsi substansialnya, tetapi lebih ditekankan hanya pada makna simbolis yang melekat pada benda itu. Disini fungsi benda itu telah berubah menjadi sesuatu yang mempunyai makna simbolis yang mungkin berkaitan dengan status sosial, perasaan lebih berharga, atau sekedar terperangkap pada budaya primer . karena itu, sering terlihat dalam budaya local non-kapitalis  yang mana menganggap bahwa semakin langka dan terbatas produksi suatu benda, semakin tinggi pula makna simbolis yang melekat padanya. Jadi budaya local Negara non-kapitalis akan terlihat kian berpindah dari memberi barang untuk menjadikan simbol. Diluar sadar,  budaya local Negara-negara non-kapitalis akan menjadi semakin terjajah oleh produk budaya global dan Negara-negara kapitalisme sebagai Negara dunia ketiga yang bermodal dan maju itu, dan semakin teriring pada perilaku konsumtif dan tampaknya perubahan sosial budaya local Negara-negara non-kapitalis cenderung kearah global. Nilai-nilai ini akan tetapi eksis dan mampu bersaing dikancah globalisasi bilamana masyarakatnya tidak cenderung terpengaruhi, tidak mengadopsi sifat-sifat konsumtif, mampu melakukan persaingan pada globalisasi pasar bebas dengan berdiri pada budaya local, tidak tergiur oleh produk-produk global sebagai pengaruh moderen Negara kapitalisme dalam mendominasi dunia pasar bebas.
  1. 1. Tantangan Masa Depan
        Wacana tentang hal ini, sudah lama telah kami amati dengan cermat bahwa memang benar, gejala perubahan soial budaya lokal  yang cenderung kearah yang terintegrasi itu akan terjadi secara cepat bilamana budaya Negara-negara non-kapitalisme tidak mampu berdiri secara eksist dalam mengembang misi local dalam menghadapi globalisasi. Ini dapat dilihat dari pelbagai pernyataan dan informasi serta arus pergerakan arah keinginan yang tampak kita saksikan. Kesadaran akan semakin beratnya tantangan yang dihadapi oleh Negara-negara non-kapitalisme dimasa depan betul-betul sangat dirasakan termanya saat ini. Persaingan akan semakin berat dengan semakin terbukanya kebudayaan lokal terhadap dunia global yang cenderung didominasi oleh Negara-negara kapitalisme. Untuk itu diperlukan manusia yang antara lain mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, disiplin, berwawasan luas, kreatif, punya inisiatif dan prinsipil, untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan itu. Budaya local Negara non-kapitalis harus beranjak dari posisi sebagai konsumen menjadi produsen, dan siap bermain dalam dunia global untuk menyaingi terma kapitalisme. Dari pernyataan yang didasarkan pada pengamatan kami ini, tampak beberapa kalangan menginginkan perubahan yang demikian itu. Kecenderungan arah perubahan kebudayaan local seperti yang dapat disaksikan sekarang ini, sudah pasti akan menjadi kendala serius dalam upaya melanjutkan pembangunan yang sesuai dengan cita-cita setiap Negara-negara non-kapitalis. Karena itu, menjadi suatu tantangan yang tidak ringan untuk menemukan dan meracik resep agar Negara-negara non-kapitalisme jangan sampai kebablasan dengan kecenderungan dominasi budaya kapitalisme yang akan terjadi itu.
        Dalam wujud manusia tunggal yang dapat menjawab tantangan masa depan itu, memang bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan strategi untuk mengkaji kembali secara dinamis nilai-nilai budaya bangsa masing-masing yang dapat digunakan sebagai alat untuk menghadapi tantangan globalisasi. Konsep pewarisan nilai luhur yang selama ini menjadi slogan politik kebudayaan masing-masing Negara, harus dikaji ulang. Pewarisan nilai budaya harus dipahami sebagai suatu proses yang rumit dan tidak sederhana, karena menyangkut semua dimensi dinamika kehidupan masyarakat. Patut pula untuk disadari bahwa terdapat kendala-kendala yang membutuhkan kecermatan yang mendalam dalam proses pewarisan nilai itu.
            Kendala pertama adalah menyangkut penentuan nilai-nilai yang perlu diwariskan, yang sesuai dengan tantangan global yang dihadapi masing-masing bangsa di masa depan. Bangsa –bangsa yang mempunyai ratusan kelompok etnik dengan beragam kebudayaan mempunyai sistem nilai budayanya sendiri-sendiri. Akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk menentukan nilai mana yang akan diwariskan.
           Kedua adalah menyangkut “Agen” yang bertugas untuk mewariskan nilai-nilai luhur itu. Apakah “agen” yang akan mewariskan nilai itu sendiri memahami benar keunggulan nilai budaya lokal, dan meyakinkininya. Untuk meyakininya sebagai ‘sesuatu’ yang patut untuk diwariskan. Hal ini hanya dapat dibuktikan dari sikap dan perilaku para “agen” itu sendiri. Jika pewarisan itu hanya bersifat petuah yang tidak pernah  diwujudkan hasil yang memuaskan. Patut untuk dipahami bahwa pewarisan nilai tidak cukup dengan retorika dan semacamnya itu. Pewarisan nilai akan lebih mudah dilakukan jika diiringi dengan praktik kehidupan. Disinilah pentingnya pelaksanaan hukum (low enforecement order) dalam praktik kehidupan bangsa, namun hal ini tidak akan tercapai jikalau kecenderungan pemerintah dalam emenetapkan hukum-hukum baru banyak menentang nilai-nilai kearifan yang sebagai budaya, dan mendukung sepenuhnya aturan-aturan global sehingga membuat resah masyarakat karena nyaris mencampakkan nilai-nilai budaya lokal sehingga menjadi luntur.
             Ketiga, proses globalisasi yang telah kita rasakan denyutnya dalam arah kehidupan bangsa ini, selain telah membentuk corak budaya masyarakat yang mengarah pada gagasan yang relative sama (Borderless), tetapi juga telah menumbuhkan gelombang perlawanan pada sebagian masyarakat. Akan munculnya kelompok-kelompok sosial baru  dengan system nilainya sendiri, menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari. Hal ini menyebabkan nilai budaya yang ingin diwariskan akan mendapat respons yang beragam pula, dan bahkan kemungkinan akan berbeda antara satu kelompok masyarakat kepada kelompok lainnya, dan mungkin saja hal ini dapat mengganggu keutuhan sebuah bangsa.
              Tentu terdapat kendala lain yang menyertai pewarisan nilai budaya itu. Misalnya seperti Penetapan peraturan-peraturan yang bertentangan atau mengarah untuk penghapusan budaya lokal. Hal ini bagi kami merupakan suatu diskriminasi dan pengabaian terhadap budaya bangsa. Globalisasi akan melakukan hal semacam itu, segala sesuatu yang tergolong dalam budaya local akan dilebur menjadi global, sehingga akan terasa bahwa budaya local Negara non-kapitalisme itu telah diabaikan dan didiskriminasikan oleh monopoli budaya kapitalisme yang mendominasi. Negara-negara non-kapitalisme akan terlihat tidak memiliki  sesuatu yang dikenal “khas” yang merupakan kebanggaannya pada dunia global nanti. Kendala ini perlu menjadi agenda untuk diperbincangkan dengan serius oleh semua pihak yang menyadari akan tantangan masa depan yang semakin runtut dan rumit. Sebagai catatan akhir, perlu di stir sebuah pepatah yang berisi nilai budaya bangsa yang menurut kami perlu dijadikan sebagai renungan dalam upaya pewarisan nilai local pada dunia global. Pepatah itu mengatakan “sekali lancung keujian, seumur hidup orang tidak percaya”. Budaya paternalistic yang fasih dan tebal pada budaya lokal memerlukan keteladanan dari para pemimpinnya, baik pemimpin di tingkat bawah maupun di tingkat puncak. Dengan keteladanan itu unsur-unsur negatif dalam perkembangan kebudayaan local Negara non-kapitalis akan dapat ditanggulangi dan dapat diarahkan kepada budaya yang pasti untuk menyambut proses globalisasi yang telah mulai dirasakan denyutnya dalam urat nadi kehidupan bangsa.
             Dinamika perubahan nilai budaya yang sedang berlangsung secara cepat itu dapat dicermati dari cerminan kehidupan sosial masyarakat setiap negara saat ini, bahwa apakah pelbagai sikap dan perilaku sosial yang sedang berlangsung dalam kehidupan seiring membawa kepada kecemasan ataukah ketenteraman. Praktik kehidupan yang tidak lagi merujuk kepada nilai-nilai tradisional yang selama ini dipandang sebagai pola dasar bagi perilaku sosial lokal telah mengalami pergeseran. Solidaritas eskalasi mobilitas sosial global yang semakin meningkat telah menyebabkan persentuhan antara pelbagai budaya bangsa yang global semakin intens. Kontak sosial yang semakin global antar bangsa-bangsa selain dapat membawa kepada bertambahnya toleransi sosial, tetapi dapat pula menumbuhkan konflik yang dipicu oleh pertukaran sosial global (globalized social exchange) yang tidak berjalan sesuai dengan sosial budaya lokal. Seiring dengan itu, pelbagi fenomena sosial global dan lokal juga ikut menyertai proses perubahan yang sedang berlangsung.
  1. BREGANING ASIA – AFRIKA BERSATU
            Tahun 2010 merupakan tahun dimana penerapan pasar bebas atau globalisasi, yang mana kini saatnya diperhadapkan kepada bangsa-bangsa didunia. Negara-negara yang terabung dalam Konferensi Asia dan Afrika (KAA) kini mulai menunjukkan berganingnya. Asia – Afrika Bersatu, inilah symbol kekuatan yang dibangun oleh para pelopor Konferensi Asia Afrika pada 55 tahun yang lalu setelah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung Indonesia.
           Persatuan Negara-negara Asia Afrika tidak lain adalah karena merasa tergolong dalam Negara-negara non-kapitalisme sehingga telah dilakukan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 itu. Kini Negara-negara persatuan Asia Afrika mulai bangkit untuk melanjutkan apa yang sudah dirilis oleh pendiri itu. Akhirnya pada tahun 2009 telah diadakan Peringatan 55 tahun Konferensi Asia Afrika di Maroko yang mana diprakarsai oleh Prof. Darwis Khudori, seorang Dosen di Universitas Lehafre Prancis, yang dihadiri oleh beberapa utusan Negara-negara dari Afrika dan Asia. Berbagai Pertanyaan, dan kesiapan Afrika dan Asia dalam menghadapi globalisasi-pun dibicarakan dalam kegiatan konferensi ini. Misalnya seperti pernyataan para tokoh-tokoh pelopor Konferensi Asia Afrika yang mengatakan bahwa;
         Pada awal abad ke-20 peradaban Barat terbelah menjadi dua arus utama, yang satu mengalir melalui Washington, yang lain melalui Moskow. Akademisi Jerman, Marx, dan rekan Inggrisnya, Engels, telah merumuskan nilai-nilai dan ilmu mereka tentu saja berdasarkan peradaban yang telah mereka warisi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Jefferson, Lincoln dan Washington. Manifesto Komunis dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika sama-sama berakar pada peradaban Barat.
Namun Asia dan Afrika bukan bagian dari tradisi ini. Sejarah mereka berbeda. Mereka memiliki peradaban tua yang dikenal karena filosofi mereka dan merupakan tempat asal agama-agama besar dunia. Selain itu, Asia dan Afrika dipersatukan oleh sebuah kekuatan yang sama hebatnya dengan peradaban besar yang telah lama mereka alami bersama. Kekuatan itu ialah nasionalisme, reaksi bersama terhadap kolonialisme dan imperialisme yang telah mereka derita.
         Nasionalisme inilah yang telah membawa kami berjuang demi kemerdekaan dan emansipasi. Kami, bangsa-bangsa Asia dan Afrika, telah dipersatukan untuk menyadari bahwa abad ke-20 adalah zaman kami. Kebangkitan kami telah memusatkan perhatian kami kepada pertentangan mendasar antara kolonialisme dan kemerdekaan, antara imperialisme dan emansipasi. Sesungguhnyalah, Perang Dingin adalah peperangan antara dua cabang dari sebatang pohon yang sama dengan akar-akar kebudayaan yang sama, yang kesemuanya unsur-unsur asing bagi Asia dan Afrika.

 

PAPUA AKAN HILANG - ANALISIS SOSIAL GLOBAL

PAPUA AKAN HILANG - ANALISIS SOSIAL GLOBAL
oleh
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT



            Asumsi saya bahwa suatu saat, Papua akan hilang. Mengamati fenomena sosial di Papua dari hari ke hari penuh ketaksaan (ambiguitas) dan seperti buah semalakama (ambivalensi). Saya melihat gejala yang kuat mengarah pada penghilangan Kepapuaan nanti. Alasan kuat yang mendasar adalah, contoh kecil saja bahwa pendatang yang berkunjung ke Papua cenderung tidak menghargai Identitas papua sebagai local etnic asli, hal itu terlihat seperti arsitek pendatang yang ditampilkan di papua, "masa arsitek toraja bisa dibangun di papua". Dimana pemerintah? bagaimana fungsi kontrolnya?. Saat sekarang ini pun generasi muda papua cenderung bergaya asing tanpa sadar mereka ikut meruntuhkan sistem nilai Papua, contohnya kebanyakan generasi sekarang tidak lagi fasih berbahasa daerah, bahkan ada yang tidak mengetahuinya sama sekali. Fulgarisme style aneh yang sedang dipertontonkan oleh generasi sekarang, bahkan ada beberapa anak mudah yang kami tanyakan mengapa tidak fasih bahasa daerahnya, malah ia berkata ah kuno, bikin malu saja pake bahasa. Ditambah lagi ketidak cintaanya kepada nilai-nilai cultur Papua menjadikan pribadi generasi Papua yang miskin papa dan kehilangan identitas. Bila seseorang kehilangan identitasnya, maka akan ada dua hal yang terjadi dalam hidupnya, 1. Hak-haknya akan digeser oleh pendatang. 2. Dia akan dianggap sebagai orang asing, dan sebaliknya dia akan merasa asing diatas tanahnya sendiri.

       inilah salah satu hal yang membuat Pribumi Papua tergeserkan dari tanahnya. Menurut kami, semua orang pendatang yang datang ke Papua, termasuk masyarakatnya, sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai budays Papua yang ada. Banyak bangunan dibuat seenaknya, bahkan nyawa orang papua pun dicabut seenaknya bila mana ada yang mempersoalkan etnic-identitas. Pola hidup yang tidak memperhatikan nilai-nilai tradisi local wisdom Papua.
Pemerintah juga kurang peduli dengan tata-aturan dalam pembangunan daerah yang berpihak kepada sosial, budaya dan religi Papua berdasar atas asas UU. 21, 2001. tentang OTSUS, dan UU. No. 30. 2008. tentang kewenangan khusus bagi daerah OTSUS yang tujuannya menyentuh masyarakat sesuai dengan sosial budaya setempat. Kami berasumsi bahwa pemerintah daerah Papua tidak fokus melihat Papua, mereka cenderung berorientasi mengejar proyek, dan menjadikan pendatang sebagai investasi politik masa bagi kepentingan politik ke depan.
         Pernyataan kami diatas diabstraksikan dalam dua premis. 1. Bahwa kekayaan Ppua yang menggiurkan dan menjanjikan itu masih berada dalam "satu kesatuan wilayah geopolitik indonesia" sehingga warga indonesia dari sabang - ambon berhak untuk mengunjungi atau mungkin menetap di wilayah-wilayah tertentu dimana itu masih berada di dalam kerangka negara yang bernama indonesia. 2. Mungkin sebagai suatu strategi penghancuran ideologi tentang kepapuaan. ada seorang kerabat saya dari Austria namanya "Kristian warta" mengatakan bahwa, jika identitas sebuah suku itu hilang, maka suku itu juga dianggap hilang. Disandingkan dengan grafik urbanisasi penduduk non papua yang membanjiri Papua setiap kapal yang kurang lebih 2.700 orang pendatang, mengigatkan saya pada ungkapan tersebut, apalagi perkembangan generasi muda yang sudah keluar jauh dari identitasnya, pasti sangat gampang tergusurkan.
        Secara empiris, perpindahan penduduk atau urbanisasi di Indonesia adalah imbas kesenjangan pembangunan dan pengembangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Akibat pertahanan etnic-identitas yang rapuh dan dibarengi dengan lemahnya kontrol pemerintah setempat mengakibatkan penduduk setempat beserta adat istiadat dan budaya (cultur, etnic-identitas) tergusur ke pinggiran dan "menonton" dinamika pembangunan yang merujuk pada akulturasi, sambil memprediksi apa, bagaimana dan kapan harus menguasai tanah dan kekayaan disekitarnya sambil memperkuat ekonomi pribadi. 

       Harapan saya, ketika mengungkapkan ini, semoga generasi Papua sadar dan pemerintah daerah harus mengambil andil dalam menyusun harkat dan martabat etnic-identitas guna eksistensi KEPAPUAAN.

salam hangat

MENUJU KAMPUNG PEMERDEKAAN PAPUA DENGAN MEMBANGUN MASYARAKAT SIPIL DARI AKAR-AKARNYA

STRATEGI KONTEMPORER YPM PAPUA

MENUJU KAMPUNG PEMERDEKAAN PAPUA DENGAN MEMBANGUN MASYARAKAT SIPIL DARI AKAR-AKARNYA

OLEH
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT


Rujukan;
Sebagai bacaan dasar bagi pengurus kampung, aktivis sosial, pemimpin kepala daerah, arsitek, perancang kota, dan kalangan ilmu-ilmu sosial

        Pentingnya “Merdeka” sebagai cita-cita luhur manusia kiranya tidak perlu diterangkan. Tetapi bahwa kini di alam Papua Barat yang dibawa masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi untuk disebut sebagai bagian integral Indonesia “Merdeka”, masih memerlukan “Pemerdekaan”, yang agaknya perlu di perjuangkan. Perjuangan “Pemerdekaan” itu menunjang nilai-nilai “Merdeka” dalam cakupan orang Papua yang ideal substansial, sebagaimana yang diperjuangkan dalam konsep “legal formal” maupun “Merdeka” dari pranata-pranata (masyarakat) yang buas-menindas. Baik yang berasal dari nenek moyang bangsa Papua sendiri (feudal-primodial-tradisional) maupun dari asing (kapitalis-kolonialis-imperialis) untuk menggantikannya dengan pranata yang beradab-berkeadilan. Karena setelah lebih dari 50 tahun dibawah kekuasaan Kolonial Belanda, Jepang, dan Indonesia yang membawanya sebagai bagian integral Indoensia yang “Merdeka” dalam kemauan Indoensia, yang dianggap legal formal, akan tetapi masalah sosial-ekonomi-budaya-politik bangsa Papua Barat masa kini dan zaman Kolonial dulu (secara ideal substansial) ternyata tidak jauh berbeda, hanya berganti rupa, yang pertama: menjadi militerisme, premanisme, sukuisme, KKN… dan yang kedua: menjadi perusahaan besar nasional, muliti nasional, trans nasional… proto tipe pelaku-pelakunya juga sama: sejumlah kecil elite penikmat (pengusaha, politis, jendral,) disatu pihak: mayoritas korban penderita (petani, buruh, nelayan, pekerja kasar, pegawai rendahan, guru…) di pihak lain.
        Catatan refleksi Papua ini mengajak serta pembaca untuk ikut serta memungkinkan bangsa Papua keluar dari reproduksi pranata yang buas-menindas ini. Bukan melalui retorika gegap gempita, ataupun bermain politik dengan kaum elite, melainkan dengan menanamkan akar-akar pranata yang beradab-berkeadilan di bumi nyata, dengan belajar dan membangun bersama dengan rakyat di kampung-kampung. Sebab, mayoritas bangsa Papua tinggal di kampung-kampung karena kampung sebagai satuan kecil pemukiman dan masyarakat sekaligus merupakan benteng terakhir pertahanan rakyat dari kekuatan-kekuatan yang bias-menindas. Dari sanalah demokrasi sebagai landasan pranata beradab-berkeadilan yang dicita-citakan bangsa Papua, semestinya dibangun, catatan refleksi ini tidak bertolak belakang dari teori atau konsep abstrak, melainkan dari pengalaman yakni kunjungan dan survey ke sebagian praktik observasi nyata yang kami lakukan guna menemukan model menuju kampung pemerdekaan Papua Barat.

Jumat, 04 Juli 2014

NARASI KAIN TIMUR – BO – DI WILAYAH KEPALA BURUNG PAPUA BARAT

A. ASAL MULA MASYARAKAT KEPALA BURUNG MENGENAL KAIN TIMUR DAN DIPAKAI SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN HARTA MAS KAWIN (ADAT). 

       Perlu diketahui bahwa kain timur/kain adat (bo) merupakan warisan nenek moyang leluhur yang mempunyai nilai sakral yang sangat tinggi. Dalam lekuk motif khas yang ditenun itu memiliki kelembutan dan juga memiliki kombinasi warna tertentu saja, (contohnya, warna merah, kuning, biru, putih dan hijau toska). Dengan demikian, saya merasa sangat penting untuk mengangkat Budaya yang dimiliki oleh beberapa suku tertentu di wilayah kepala burung Provinsi Papua Barat. Saya tergerak untuk menghidupkan dan melestarikan kembali kain timur, selain itu, mereka juga memiliki seni kerajinan tenun seperti halnya beberapa daerah penghasil kain tradisional lainnya. Kain tenun yang merupakan tradisi turun-temurun tersebut kini dihidupkan kembali trendnya. Kain tenun khas masyarakat wilayah kepala burung dirancang oleh pengrajin dalam bentuk motif berkotak-kotak dan tersusun panjang. Dari benang SUTRA menjadi kain tenun, kemudian dari kain tenun menjadi rancangan busana masa kini. Harapan saya adalah mengangkat dan memperkenalkan kembali kain tenun masyarakat kepala burung yang punah tersebut sebagai bagian dari kain nusantara warisan Indonesia. Dari bukti foto-foto lama dan catatan sejarah yang berhasil dikumpulkan, terdapat rekaman gaya pakaian masyarakat kepala burung kuno tentang kain timur yang disakralkan oleh masyarakat tersebut. Bukti lain menunjukkan juga bahwa, kain timur ternyata memiliki nilai-nilai sebagai beriktu: - Dapat digunakan sebagai alat pembayaran mas kawing - Alat pembayaran dalam kegiatan perdagangan antara suku di wilayah kepala burung - Kain timur juga bisa diperjual belikan Sehingga untuk menentukan originalitas kain tenun khas masyarakat wilayah kepala burung makin bisa. Bisa jadi kain timur khas masyarakat kepala burung di pengaruhi dari daerah lain, atau malah kain timur mempengaruhi daerah lainnya. Meski demikian, kain timur tenun khas masyarakat kepala burung diganjar bukti-bukti sejarah tentang keberadaannya di wilayah itu. 

 

 


 
B. KAIN TIMUR (BO) DALM TATANAN SOSIAL BUDAYA KEMASYARAKATAN 
         1. Kain  Timur – Bo – Dalam Membayar Perkawinan Dalam maskawin orang Maybrat, Imian, Sawiat sejumlah kain timur yang ternama dan berbobot nilai tinggi (wan safe, bokek, sarim, boirim) menjadi unsur yang pokok di samping sejumlah benda yang bernilai seperti uang. Sewaktu berkunjung ke rumah calon pengantin (samu finya mgiar) untuk melamar, keluarga pihak wanita biasanya menentukan jumlah serta ragam benda maskawin yang harus di serahkan oleh keluarga pihak pria, yang antara lain terdiri dari kain timur (bo) dari golongan yang mereka kehendaki dan uang (pitis) sebagai bagian penting dari pembayaran maskawin wanita, keluarga wanita biasanya meminta jenis kain yang bergengsi seperti wansafe, bokek, sarim, pihak keluarga calon pengantin pria jarang dapat menolak permintaan tersebut untuk menghindari malu karena kehilangan martabat (bobot). Apabila maskawin yang diminta tidak dapat di sediakan oleh pihak keluarga inti pria, maka keluarga inti pria, mereka akan segera
meminta bantuan dari semua kerabat untuk mendapatkannya. 
         Seorang kerabat yang berkuasa dan mempunyai hubungan yang luas tentu mudah mendapatkan benda-benda langka. Dengan demikian pihak keluarga calon pengantin pria sekaligus betapa tinggi dan luasnya kekuasaan kerabat mereka. Sebaliknya, pihak keluarga calon pengantin wanita juga tidak tinggal diam, karena mereka juga akan mengusahakan barang-barang bernilai seperti makanan, babi, minuman enao (saguer) sebagai persen (mbar) kepada keluarga mempelai laki-laki atas porsen terhadap pembayaran maskawin. Kalau pemberian mereka tidak seimbang merekapun akan mendapat malu besar. Pertukaran kain timur bagi orang Maybrat, Imian, Sawiat memang mengandung unsur martabat dan gengsi, walaupun disamping itu adat pertukaran kain timur juga memperdalam rasa solidaritas antara pihak-pihak yang bersangkutan. Kegagalan untuk membayar maskawin, seperti yang telah dijanjikan tidak hanya menimbulkan rasa malu yang mendalam pada pihak keluarga mempelai pria tetapi mereka juga akan memberikan anak yang kelak lahir dari perkawinan itu kepada keluarga mempelai wanita untuk diadopsi, kalau pasangan itu tidak mempunyai anak, maka si suami harus bekerja untuk keluarga isterinya sampai hutangnya lunas. Di samping itu, pada pesta perkawinan diundang juga warga klen-klen lain yang biasanya datang ke pesta yang merupakan kesempatan untuk memamerkan kain timur (matir boo) dan saling menukarkannya. Pihak-pihak yang kalah tidak jarang menderita hutang besar dan kalau ia tidak membayarnya, ia wajib bekerja sebagai budak pada pihak yang menang. 
          2. Kain Timur – bo Untuk Membayar Denda Pelanggaran janji yang dianggap paling serius dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat dan yang karena itu menurut adat harus dihukum dengan denda-denda adalah perzinahan. Denda yang dituntut dapat dilakukan oleh isteri mapun oleh suami, apabila zinah itu dilakukan oleh isteri maka suami biasanya menceraikan isterinya, yangh berakibat bahwa keluarga isteri harus mengembalikan maskawin, termasuk kain timur yang telah mereka terima sebagai (Boyi), serta beberapa ekor babi semua pasangan itu diambil oleh suami. Sebaliknya apabila zinah dilakukan oleh suami, kadang-kadang juga bisa terjadi perceraian, tetapi kadang-kadang juga tidak. Walaupun demikian karena perbuatan itu dianggap sebagai suatu pelanggaran janji, kerabat suami dikenakan denda dengan mengembalikan kain timur (boyi) yang telah mereka terima dari kerabat isteri, ditambah dengan sejumlah kain timur yang golongannya di tentukan oleh kerabat isteri juga, disertai dengan beberapa ekor babi. Apa bila si suami ingin menikah dengan wanita yang digaulinya itu, maka kerabatnya tentu juga harus membayar boyi kepada kaum kerabat isteri yang baru. 
          3. Kain Timur – bo – Dalam Upacara Kematian Orang Maybrat, Imian, Sawiat membedakan antara orang mati karena umur tua, karena sakit, karena kecelakaan dan karena guna-guna. Dalam semua upacara diperlukan kain timur sebagai salah satu unsur. Apabila harta orang yang meninggal itu banyak dan kekuasaannya besar, maka kain-kain yang dipakai untuk menutup jenazah, atau yang diikatkan pada pohon-pohon dengan jumlah yang lebih banyak plus yang di sobek-sobek dengan kualitas kainnya pun terbaik, tetapi apabila orang meninggal itu miskin, maka sudah cukup sehelai kain yang tidak sangat mahal ditutupi jenazahnya, atau dipotong-potong atau di sobek untuk diikatkan pada beberapa pohon sekitar halaman. Kekayaan dan kekuasaan orang meninggal itupun tampak dari jenis makanan yang tersedia. Apabila kematian seseorang oleh kerabatnya di duga akibat guna-guna, maka para kerabat itu akan meneliti serta melacak orang yang melakukan atau menyuruh melakukan guna-guna tersebut. Apabila orang-orang tersebut telah ditemukan, dan dakwaan terhadap mereka dibenarkan oleh orang-orang terdakwa dengan menggunakan alat uji (fnor) oleh para ahli di bidang itu dan disaksikan oleh para keluarga korban dengan menghadirkan pemimpin masyarakat, maka biasanya orang-orang terdakwa tersebut sulit untuk ingkar. Sebagaimana halnya orang yang melanggar adat, mereka di tuntut bayar denda kepada kerabat orang yang meninggal, yang selalu beruapa sejumlah kain timur. Hingga sekarang ini pembayaran atas kematian ini terus dipertahankan oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat. Karena mencari, mengumpulkan dan membeli kain timur memerlukan banyak biaya, dan waktu, hal itu seringkali dapt menggangu konsentrasi orang pada pekerjaan mereka yang lebih produktif dan berguna, sehingga upaya berkembang baikpun terganggu. 
                4. Kain Timur – bo– Dalam Transaksi Perdagangan barang dan jasa Fungsi kain timur – bo – sebagai alat pembayaran dalam perdagangan sebenarnya sudah ada sejak dahulu, ketika para pemburu burung cenderawasih membawa kain-kain tekstil sebagai pengganti peralatan untuk berburu, jasa pemandu, serta bahan makanan selama berburu, dari produk asli. Samapai sekarang pun penggunaan kain timur – bo – sebagai alat pembayaran dalam perdagangan masih terlihat, walaupun alat pembayaran perdagangan modern seperti uang telah berhasil mendominasi dunia, walaupun orang Maybrat, Imian, Sawiat sudah sejak 5 – 6 dasa warsa yang lalu (yaitu masih dalam zaman pemerintahan Hindia – Belanda) mengenal uang. Banyak hal, seperti berbagai peralatan masa kini, makanan dan minuman dalam kaleng, dan tembakau, telah merka beli dengan uang. Namun daging yang mereka beli dari produk (jadi tidak di toko atau kedai) seringkali masing-masing dibayar denagn kain timur, dan upah pun kadang-kadang dibayar dengan uang, walau sebelumnya selalu dibayar upah dengan kain timur – bo. Dalam pertemuan-pertemuan antar pedagang di pasar, di tempat-tempat lain di Indonesia, kita sering melihat kegiatan bermain judi. Di daerah Maybrat, Imian, Sawiat, berjudi dengan kain timur – boo – sebagai taruhannya, tak jarang menimbulkan akibat-akibat yang negatif seperti yang terurai diatas. 
         5. Larangan dan Munculnya Kembali Pertukaran Kain Timur–Samiya bo– di Daerah Maybrat Imian Sawiat. Ketika pemerintah Hindia-Belanda kembali ke Manokwari seusai perang pasifik, dan menguasai penduduk daerah kepala burung, muncul gagasan pada penguasa untuk menghapuskan aktivitas pertukaran kain timur – semya bo – yang dalam zaman jepang meningkat secra ekstrem dan mengganggu keamanan serta menghambat laju pembangunan di daerah kepala burung, terutama daerah Maybrat, Imian, Sawiat. Setelah pemerintah Hindia-Belanda menelitinya dengan seksama, dan laporan-laporan mengenai aktivitas tersebut di laporkan (Galis 1955 – 56; Bruyn 1957; Dubois 1960), suatu kampanye penerangan yang menggunakan seuab ceritera keramat dalam mitologi penduduk asli yang mengisahkan bahwa zaman bahagia yang sesungguhnya bagi umat manusia akan segera tiba, apabila mereka dapat mengundang kembali nenek moyang itu kembali apabila manusia sanggup menahan diri, terhadap keserakahan serta godaan nafsu, mau menang sendiri dan merugikan orang lain. Maka untuk memudahkan kembalinya nenek moyang segala benda dan harta kekayaan sebaiknya dibuang. Sambutan penduduk asli, terutama golongan kaum muda, di daerah Ayamaru, Aitinyo, Aifat, Tehit, dan Sedorfayo terhadap anjuran pemerintah itu sangat baik sehingga ketika pemerintah Hindi-Belanda dalam tahun 1957 memberi perintah untuk mengumpulkan semua kain timur – bo – yang ada untuk didaftar atau disita, banyak orang Maybrat, aktif turut mencari dan membujuk dan bahkan memaksa golongan tua serta orang-orang yang kaya untuk menyerahkan kain timur – bo – mereka. Sebenarnya ini merupakan suatu pelanggaran besar yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda Pada waktu itu, karena mereka berusaha menghapuskan warisan budaya orang Maybrat, Imian, Sawiat, dengan cara memusnahkan atau membakar semua kain timur – boo- yang merupakan nilai adat tertinggi bagi orang Maybrat, Imian, Sawiat. Hal ini merupakan penjajahan yang memilukan serta sangat mematikan karakter budaya orang lain. Sebenarnya saat ini orang Maybrat, Imian, Sawiat, harus menuntut kompensasi sebagai ganti rugi kepada pemerintah Hindia Belanda atas pemusnahan budaya mereka pada waktu itu. Walaupun dengan ceritera itu, beribu lembar kain timur – bo - berhasil disita, dan kemudian dibakar, masih banyak orang Maybrat, Imian, Sawiat yang masih menyembunyikannya. Setelah peristiwa itu, selama beberapa waktu, yaitu sampai akhir pemerintah Hindia-Belanda dalam tahun 1962, aktivitas pertukaran kain timur – bo – yang mana tidak hanya masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, yang dimusnahkan habis, melainkan jug di seluruh daerah kepala burung seakan-akan semuanya menjadi hilang hampir musnah seluruhnya, akan tetapi secara terbatas masih ada pada upacara-upacara tertentu, seperti perkawinan dan kematian, karena benda-benda itu dianggap sebagai benda-benda keramat yang mengandung kekuatan sakti yang berfungsi dalam upacara-upacara keagamaan. Dalam hubungan itu pemerintah Belanda mengizinkan penggunaan kain timur – bo – yang telah didaftar dan dicap terlebih dahulu, setelah pihak-pihak yang bersangkutan mengajukan permohonan khusus. Sayangnya setelah pemerintahan di Papua yang sebelumnya Irian Jaya di ambil alih oleh pemerintah Indonesia, aktivitas-aktivitas sosial budaya penduduk pada umumnya dan penduduk Maybrat, Imian, Sawiat pada khususnya tidak difahami, dan didorong keinginan untuk mengeruk untung dengan cara yang mudah, beberapa pedangang yang berasal dari Makasar, Bugis, dan Jawa mengimpor kain timur – bo – kelas “C” seperti boerim, bain, kasuban, han dan lain-lain ke daerah Maybrat, Imian, Sawiat yang mereka jual dengan harga yang cukup tinggi. Dengan demikian kain timur – bo – mulai beredar lagi di daerah Maybrat, Imian, Sawait dan beberapa perdagangan kain timur – bo – yang bernilai tinggi. Sebenarnya upaya pemberantasa peredaran kain timur – bo – bila dipandang dari ilmu psikologi, merupakan penurunan harkat martabat orang Maybrat, Imian, Sawiat, karena motivasi orang turut dalam perdagangan dan peredaran kain timur – bo – dalam kebudayaan penduduk daerah Maybrat, Imian, Sawiat yang merupakan suatu hasrat manusia untuk menaikkan martabat dan gengsi atau motivasi manusia untuk berspekulasi untuk menjadi kaya dengan berjudi kain menjadi runtut dengan merujuk pada orang kecil (raa kinyah), yang mana hal itu terjadi karena seorang bobot adalah orang yang memiliki banyak kain timur (bo) akan tetapi seorang bobot itu akan menjadi rakyat kecil (raa kinyah) karena sudah tidak memiliki kain (bo) yang berkelas. Hal semacam ini dapat disamakan dengan istilah ekonomi dengan meminjamkan istilah kata dalam ilmu ekonomi yang disebut (bangkrut), yaitu seseorang yang tadinya dianggap kaya dengan harta sebagai tolok ukur atau barometernya akan dipandang sebagai orang jelata atau orang kecil ketika ia jatuh bangkrut. Demikian seorang bobot akan menjadi seperti seorang kaya yang bangkrut. Walaupun hingga kini banyaknya kain timur – bo – tenunan, orang Maybrat, Imian, Sawiat menganggapnya sebagai bahan yang nilainya kecil (bo ro tna sei), dan mereka lebih menerima kain timur – bo – yang semenjak dulu sudah di pakai yaitu dengan pengertian mereka bahwa kain timur –bo- yang umurnya tua mempunyai nilai lebih tinggi ketimbang yang berumur muda, karena untuk bo yang walaupun sudah berabat tahun, tetapi umurnya itulah yang memberikan suatu nilai tertinggi dan semakin menjadi tolok ukur utama nilainya. 
C. DALAM ACARA PENTING APA SAJA KAIN TIMUR DIGUNAKAN? 
        Perlu diketahui bahwa kain timur ini memiliki nilai yang sakral yang mana kain timur dipakai oleh beberapa suku tertentu di wilayah kepala burung provinsi Papua Barat. Dengan demikian maka kain timur/ adat dapat dipakai dalam prosesi upacara penjemputan tamu pada acara penting, contoh: penjemputan Gubernur dan juga penjemputan Bupati dan lain sebagainya. Sebagai informasi bahwa sejak zaman dahulu hingga tahun 2000 kain timur dipakai hanya dalam bentuk tradisional saja, pada badan seseorang yang siap mau menjemput tamu. Namun dalam perkembangan moderen sekarang, dimana kita melihat dunia MODEL itu tidaklah statis, melainkan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman Dengan demikian kami merasa perlu untuk mengangkat budaya ini ke permukaan, yang mana berhasil dilakukan desain kain timur sebagai bahan yang memiliki nilai yang sangat tinggi. Pada tahun 2009 kami berhasail memodifikasi kain timur ini menjad gaun pengantin, pakaian pagar ayu, pengapit (dayang-dayang) dll. Dalam berbagai macam bentuk dan MODEL. Kami telah berhasil menciptakan Busana (paket pengantin) dari bahan Kain Timur contohnya: Baju Gaun Pengantin, Jas pengantin, pakaian pagar Ayu, pakaian untuk Dayang-dayang yang di lengkapi dengan sepatu, kalung leher, kipas-kipas, keranjang bunga, tulis-tulisan selamat datang, mohon Doa restu semuanya ini bermotifkan Kain Timur. 
D. IDE DAN GAGASAN 
           Yang melatar belakangi sehingga saya menggali dan mengangkat Kain Timur ke permukaan adalah bahwa kekayaan budaya dapat terlihat jelas dalam serangkaian tradisi proses perkawinan Adat masyarakat di wilayah Kepala Burung. Rangkaian prosesi pernikahan sebagai tradisi leluhur seyogyanya masih tetap di laksanakan meski dalam tata upacara yang lebih di sederhanakan. Tak terkecuali masyarakat Adat MAYBRAT ketika ingin menikahkan anak-anaknya, serangkaian tradisi penuh makna pun di selenggarakan, suasana sakral dan hikmat kerap mengiringi sprosesi Adat ini. Proses merancang disadari ANACE, Ibu yang akrab di panggil ANIE. NAUW ini sebagai suatu proses belajar terus menerus yang harus di nikmati. Dalam prinsip saya, Talenta Harus di Maksimalkan (Impossible Is Nothing). Saya tidak memiliki back ground, pendidikan formal sebagai Designer, Membuat Gaun pengantin adalah sebuah Hobi saja. Namun bila hobi bisa berkembang menjadi sesuatu yang positif dan menginspirasi orang-orang di sekitarnya, kenapa tidak di seriuskannya?. Karena itu saya yang suka memodifikasikan busana / Kain Adat ini ingin melengkapi kemampuan dalam menyulap wanita untuk tampil cantik seutuhnya dengan belajar merias wajah, perancang Busana Adat yang di modifikasi, dan make up, dua profesi yang ke depannya tentu akan saling melengkapi. Mengawali kiprah saya di dunia pengantin, dengan ikut berperan sebagai PERIAS, lama kelamaan jiwa seni di dalam diri saya makin terasa dan makin kuat saja, di dukung dengan hobi menggambar yang di miliki akhirnya bersiap terjun di dunia Desain Gaun Pengantin yang di modifikasi dari Kain Timur/ dan langsung membekali diri dengan belajar tehnik pola dan desain. 
E. KAPAN PERTAMA KALI DI TAMPILKAN BUSANA ADAT KEPALA BURUNG YANG DI MODIFIKISI INI DAN DALAM ACARA APA? 
               Busana Adat Kepala Burung yang di modifikasi ini pertama kali di tampilkan pada acara pernikahan yang di selenggarakan pada tanggal 12 Agustus tahun 2009 di RESTAURAN DOFIOR jalan baru kota sorong, dan selanjutnya dapat berkembang dari tahun ke tahun hingga tahun 2013 sekarang ini. Perlu di ketahui bahwa Busana ini sangat langkah dan unik yang mana merupakan Busana Adat yang pertama di modifikasi di tanah PAPUA dan PAPUA BARAT. Oleh karena itu maka kami di undang ke provinsi PAPUA mau pun PAPUA BARPAT bahkan sampai merias Pengantin ke JAKARTA pada tahun 2011. Daerah-daerah yang kami sudah kunjungi adalah, Jayapura, Fak-fak, Sorong Selatan, Tambrauw, Maybrat, Kota Sorong, Kabupaten Sorong, dan juga Manokwari. Busana Adat Kepala Burung yang di modifikasi ini pertama kali di tampilkan pada acara pernikahan yang di selenggarakan pada tanggal 12 Agustus tahun 2009 di RESTAURAN DOFIOR jalan baru kota sorong, Pasangan Penganten atas nama Keluarga SEPY D . JITMAU. selanjutnya dapat berkembang dari tahun ke tahun hingga tahun 2013 bahkan sampai sekarang ini. F. TRANSIASI KAIN TIMUR - BO Pada mulanya kain timur – bo, hanya digunakan sebagai alat pembayaran maskawin, denda, upacara adat dan kadang dipakai sebagai alat tukar makan. Sekarang dikembangkan menjadi busana moderen seperti busana perkawinan. Bagi kami, busana kain timur adalah symbol identitas, religi, etnisitas, kewibawaan dan memiliki estetika yang bernilai. Selain digunakan sebagi benda ekonomi communal, kami ingin mengembangkannya dalam bentuk moderen untuk menjadi system ekonomi di era globalisasi. G. TANTANGAN DAN HARAPAN Kami melihat adanya tantangan ke depan karena gaun busana kain timur atau kain adat ini pasti mempunyai sisi kekurangan yang lain misalnya seperti tuntutan globalisasi yang serba glamour membuat generasi pemilik warisan kain timur cenderung memilihnya ketimbang busana kain timur. Apalagi bila mereka tidak rasa memiliki dan memahami system nilai dari kain timur itu. Harapan kami ke depan nanti, busana-busana kain timur ini menjadi system nilai yang menggambarkan corak khusus etnisitas-etnis pengguna dan juga menjadikannya sebagai suatu tatanan social ekonomik yang berkembang secara inofatif sehingga tidak kalah bersaing di era globalisasi. Selain itu semoga bentuk busana ini menjadi kearifan local nusantara. 
H. LAMPIRAN FOTO.