Minggu, 06 Juli 2014

GLOBALISASI DAN DIALOG ANTAR BUDAYA - SEBUAH KAJIAN SOSIAL



GLOBALISASI DAN DIALOG ANTAR BUDAYA - SEBUAH KAJIAN SOSIAL
Oleh
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT


ABSTRAK
       Paper ini mendiskusikan tiga hal inti dalam jantung globalisasi dan dialog antar budaya, yaitu pertama: dialog sebagai syarat formasi identitas, kedua; dialog mengandaikan bahasa sebagai media untuk saling mengerti. Ketiga; konstruksi identitas dalam dialog selalu berhubungan dengan nilai-nilai utama menjadi peduli bangsa manusia.
Kata kuci: Globalisasi, Dialog, Identitas, bahasa, bangsa manusia.

GLOBALISASI DAN DIALOG ANTARBUDAYA
       Lewat kendaraan globalisasi, dunia kini ditandai oleh sebuah masyarakat moderen yang multikultural. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dalam globalisasi adalah pertemuan antarbudaya. Apabila ditilik lebih dalam, globalisasi memungkinkan perubahan budaya dalam pertemuan antarbudaya. Sejauh mana perubahan itu terjadi akan tergantung pada bagaimana budaya-budaya mengembangkat siasat dan strategi dalam menyikapi pertemuan itu.
       Mengikuti karakter-karakter globalisasi yang telah saya kemukakan pada abstrak, sejauh pertemuan antar budaya dipertimbangkan, globalisasi menghantar budaya-budaya pada sebuah persimpangan jalan: di suatu pihak, tertutup pada kemungkinan terkontaminasi oleh budaya lain akan memungkinkan pluralitas budaya, tetapi mencegah kemungkinan dialog antar budaya. Dilain pihak, terbuka pada perubahan budaya memnungkinkan kesempatan dialog antar budaya tetapi mengancam keutuhan dan kelangsungan budaya-budaya lokal.
       Diperisimpangan ini, tak jarang suatu kode budaya tertentu sudah tidak ada lagi dalam pertemuan antarbudaya, sehinga yang diperlukan adalah kreatifitas aktor budaya untuk menyiasati pertemuan antarbudaya.
       Meskipun demikian, baik mereka yang mendukiung globalisasi maupun yang skeptis atas globalisasi sebagai konsep sama-sama berpendapat bahwa dalam masyarakat moderen yang multi kultural, hubungan antar budaya global dan budaya lokal sangat penting.
       Bila demikian, bagaimana pertemuan antar budaya dalam globalisasi bisa dipahami? dalam era dimana pluralitas budaya merupakan peristiwa penting yang mendefinisikan zaman kita, identitas selalu menjadi sebuah pertanyaan penting secara khusus dalam perjumpaan antar orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Sebagaimana telah disampaikan diatas bahwa perjumpaan budaya ini pada dasarnya merupakan karakteristik utama moderenitas.
       Menurut Jonathan Sacks, ‘’salah satu transformasi besar dari abad ke-20 menuju abad ke-21 adalah kenyataan bahwa sementara abad ke-20 didominasi oleh politik iedeologi, sedangkan di abad ke-21 kita memasuki sebuah abad  politik identitas (Sacks, 2002:10). Sementara pertemuan antar budaya merupakan sebuah tantangan dan juga masalah bagi formasi identitas di abad globalisasi, pertemuan itu merupakan juga sebuah kesempatan untuk mencari jalan-jalan menujupemahaman dan strategi yang tepat untuk hidup bersama. Hemat saya, tidak ada usaha untuk menganggapi tantangan pluralitas budaya dan agama yang lebih dialog antarbudaya.
       Klaim saya atas dialog antarbudaya dalam perjumpaan budaya-budaya ini diterangi pertimbangan filosofis.budaya merupakan sebuah tantangan dan juga masalah bagi formasi identitas di abad globalisasi, pertemuan itu merupakan juga sebuah kesempatan untuk mencari jalan-jalan menujupemahaman dan strategi yang tepat untuk hidup bersama. Hemat saya, tidak ada usaha untuk menganggapi tantangan pluralitas budaya dan agama yang lebih dialog antarbudaya.
       Klaim saya atas dialog antarbudaya dalam perjumpaan budaya-budaya ini diterangi pertimbangan filosofis yang dilekatkan oleh  satu filusuf dan tokoh multikulturalis yakni Charles Tylor (1994). Tylor membentangkan idenya tentang pendekatan dialogis antarbudaya ketika ia berbicara tentang multikulturalisme sebagai sebuah politik pengakuan (politics of recognitions). Bagi Tylor, ketika kita berbicara tentang politik pengakuan atas eksistensi budaya-budaya, kita berhadapan dengan dua konsep yang sangat berhubungan yakni martabat yang sama (equal dignity) dan penghormatan yang sama (equal respect) (Tylor, 1994; Modood, 2007:51-53).
       Konsep martabat yang sama berhubugnan dengan martabat manusia yang pada dasarnya sama apapun budaya, agama, dan warna kulit. Karena martabat yang sama ini, setiap orang patut diakui hak-haknya yang vital dan mendasar. Dengan kata lain, konsep martabat yang sama berhubungan dengan kesamaan antar manusia. Konsep ini memang penting, tetapi tidaklah cukup mempertimbangkan kesamaan sebagai basis politik pengakuan. Karena itu, Tylor mengajukan konsep penghormatan yang sama. Bila konsep martabat yang sama berhubungan dengan kesamaan, konsep penghargaan yang sama berhubungan dengan pemahaman atas perbedaan antar manusia dan budaya sebagai faktor penting dalam menggagasi konsep institusi hubungan yang sama antarindividu dan budaya.
       Hemat saya, ada tiga pengandaian utama dalam pendekatan dialogis antarbudaya yang diajukan, yaitu:
1.     Pertama
     Dialog merupakan syarat awal dalam formasi identitas. Seperti telah disebutkan, identitas adalah salah satu isu sentral dalam masyarakat pluralistik. Identitas adalah sumber makna hidup dan pengalaman seseorang atau kelompok masyarakat. Karena identitas berhubungan dengan makna hidup dan pengalaman, konstruksi identitas menentukan juga cara orang berpikir tentang ‘siapakah mereka’, ‘dari mana mereka berasal’, ‘bagaimana seharusnya mereka hidup atau coba menhidupi hidup mereka menurut jawaban-jawaban paling tepat yang mereka temukan dalam hidup’.
     Proses untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu merupakan sebuah proses mengartikan dan memaknakan identitas individual dan identitas kolektif. Proses ini hanya mungkin terjadi lewat perjumpaan dialogis dengan yang lain. Dengan kata lain, konstruksi identitas selalu terjadi dalam konteks hubungan, dialog dan pertukaran pemahaman dengan pihak lain. Karena itu, menurut kami, dialog dan hubungan yang terbuka adalah kuci dan alat bagi penemuan diri dalam budaya otentisitas.
     Ketika status dialog dalam hidup publik dipertimbangkan, sebaiknya dialog adalah kewajiban pertama dalam kewarganegaraan setiap warga negara. Dialog karena itu sangat sentral dalam formasi identitas dan politik hidup publik. Atau dengan kata lain, dialog adalah aksi sosial dengan mana aktor-aktor sosial membangun ikatan yang kuat antara satu dengan yang lain. Lebih lanjut, kodrat dialog menyandang di dalamnya benih-benih harapan yang memastikan bahwa ‘no man is an island’ di mana hidup dan esistensi manusia bukanlah sebuah peristiwa yang menyengsarakan karena kesendirian tetapi sebuah peristiwa dalam hubungan dengan hidup bersama yang pantas dirayakan bersama dengan yang lain.
     Meskipun demikian, hubungan antara konstruksi identitas dan pertukaran dialogis bukanlah tanpa pertanyaan. Pendekatan-pendekatan dari aliran teori kritis, misalnya, sering bertanya tentang siapa yang mengkonstruksi identitas individual dan kolektif, dan untuk siapa atau untuk apa konstruksi itu diperuntukkan. Dengan mengangkat pertanyaan ini, kadang masyarakat dipersalahkan dengan tuduhan bahwa identitas dikonstruksi sedemikian mungkin untuk melayani kepentingan-kepentingan tersembunyi. Menangapi kritik itu, saya berpendapat bahwa kritik ini mengabaikan aspek relasional dan karena itu mengasingkan hubungan dinamis antara seorang individual atau satu kelompok dengan masyarakat. Ide dialog pada dasarnya mengakomodasi relasi dinamis ini dan karena itu dialog menerjemahkan martabat perbedaan antarindividu dan budaya.
2.     KEDUA
     Dialog mengandaikan bahasa sebagai media untuk saling mengerti. Bahasa adalah hal yang sangat mendasar dalam hidup manusia dan penggunaannya selalu bersifat sosial dan politis dalam arti membentuk cara-cara interaksi manusia. Lebih dari itu, bahasa adalah satu bidang di mana pengetahuan, pemahaman, dan penafsiran kita atas dunia sosial tercipta dan terbentuk secara aktif. “penggunaan bahasa ada melalui dialog dengan masyarakat: bahasa dihasilkan masyarakat dan (melalui efek penggunaan bahasa pada manusia) bahasa terus saja membantu untuk menciptakan masyarakat secara baru. Bahasa pertama mewakili realita sosial dan kedua mempunyai sumbangan penting demi produksi dan reproduksi realitas sosial atau hidup sosial”. Istilah ‘bahasa-bahasa manusia’, sebagaimana disarankan Tylor, meliputi segala bentuk ekpresi manusia seperti seni, musik dan gerak rakyat. Dialog membutuhkan bahasa untuk memungkinkan orang atau naggota masyarakat untuk saling mengerti. Dengan demikian bahasa sebenarnya sebagai dasar dialogis.
Melalui bingkai dialog, seseorang bersama orang lain bukan lagi dua entitas yang berbeda karena keduanya selalu ada dalam hubungan antar yang satu dengan yang lain. Kesimpulannya jelas: jika bahasa pada dasarnya adalah sosial terutama dalam membentuk interaksi sosial manusia, maka eksistensi manusia tidak bisa berpaling dan melarikan diri dari dialog. Dengan kata lain, bahwa dengan menginvestasi pada dialog, hubungan sosial dipertahankan.
3.     KETIGA
     Kondstruksi identitas dalam dialog selalu berhubungan dengan nilai-nilai utama yang menjadi peduli bangsa manusia. Dengan kata lain, motif dari dan demi dialog adalah tantangan dan problem bersama yang dihadapi bangsa manusia dalam hidup bersama. Sejauh kodrat manusia dipertimbangkan, persoalan yang senantiasa muncul adalah bagaimana membangun jembatan yang kuat antara kesamaan martabat manusa dan perbedaan praktis dalam budaya hidup.

Kesimpulan     
       Dapat dilihat bahwa globalisasi dikemudikan oleh teknologi, ekonomi, politik, dan agama, sedangkan budaya-etnis lain dipaksakan harus mengetahui bahasa tertentu, dan elemen globalisasi tertentu sehingga budaya itu diserap oleh kekuatan-kekuatan itu.
       Semuanya berawal dari dialogis. Dengan dialogis seseorang mempengaruhi orang lain untuk mengikuti ide, gagasan, keinginan, kepentingan dll. Dialogis itu tidak membutuhkan pertemuan langsung tetapi melalui media seperti internet,  tv, telephon dll.
       Seseorang dapat mempengaruhi budaya lain atau dapat mengikuti budaya lain melalui elemen globalisasi. Dia membuka diri dengan menerima budaya lain diawalinya dengan dialogis (conect communications).
Dapat dilihat bahwa globalisasi dikemudikan oleh teknologi, ekonomi, politik, dan agama, yang dipaksakan harus mengetahui bahasa tertentu, dan elemen globalisasi tertentu sehingga budaya itu diserap oleh kekuatan-kekuatan itu.
       Semuanya berawal dari dialogis. Dengan dialogis seseorang mempengaruhi orang lain untuk mengikuti ide, gagasan, keinginan, kepentingan dll. Dialogis itu tidak membutuhkan pertemuan langsung tetapi melalui media seperti internet,  tv, telephon dll.
       Seseorang dapat mempengaruhi budaya lain atau dapat mengikuti budaya lain melalui elemen globalisasi. Dia membuka diri dengan menerima budaya lain diawalinya dengan dialogis (conect communications).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar