Minggu, 06 Juli 2014

PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME SEBUAH KAJIAN SOSIAL BUDAYA LOKAL DAN GLOBAL

PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME SEBUAH KAJIAN SOSIAL BUDAYA LOKAL DAN GLOBAL

oleh
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT


Abstrak
      Paper ini mendiskusikan tentang  kajian akan  benturan budaya lokal non-kapitalisme dan globalisasi pasar bebas sebagai dominasi budaya kapitalisme pada dunia nanti. Melalui analisis akan pergerakan dan arahnya, penulis mengungkapkan bahwa  dalam penerapan pasar global, akan mengakibatkan terjadinya peleburan besar-besaran terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa atau Negara menjadi sosial, buday, ekonomi dan politik global. Selain peleburan budaya, akan adanya pengeksploitasian besar-besaran terhadap tenaga kerja dari Negara-negara non-kapitalisme oleh kaum kapitalisme untuk mendukung kinerja pemodal multiglobalisasi, sehingga suatu bangsa atau Negara non-kapitalisme yang tadinya bisa merangkak perlahan untuk menyaingi Negara-negara kapitalisme dengan satu atau dua orang tenaga ahli mereka akan  menjadi mandeg, karena kekurangan tenaga ahli yang mampu menggerakkan pergerakan negaranya dikancah globalisasi.
Kata Kunci : Globalisasi, Pasar Bebas, Budaya Dominasi, Kapitalisme.
  1. PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME.
        Kajian terhadap globalisasi pasar bebas ini sebagai suatu gejala dominasi budaya baru. Ini menurut kami bahwa globalisasi pasar bebas merupakan suatu gejala dominasi budaya yang mana bukan sekedar fenomena perubahan style atau fashion belaka, melainkan ini akan menjadi suatu fenomena sejarah. Inti daripada kajian ini adalah mengungkapkan suatu transformasi sosial simbolik dalam ruang kebudayaan dengan transformasi historis dalam model kapitalisme global. Model kapitalime ini merupakan suatu penetrasian dan kolonisasi terhadap model-model sosial lokal sebagai budaya dari sebuah Negara atau bangsa, dengan ketidak sadaran (unconciousness), yakni berupa penghancuran system sosial budaya pra-kapitalis dan kelahiran globalisasi pasar bebas sebagai budaya kaptalisme yang mendominasi.
        Mengikuti akar tahapan perubahan momen pasar global sebagai suatu pengarahan akan dominasi budaya kapitalisme, maka kami mencoba mengkaji dengan menganalisis social budaya suatu bangsa atau Negara dengan mencoba mensejajarkannya pada pasar global yang mana merujuk pada suatu dominasi budaya yang kapital, bahwa peralihan struktur daripada sosial budaya suatu Negara atau bangsa akan bergantung pada cepat atau lambatnya daya cerap bangsa atau Negara  itu sendiri dan juga akan tercermin dalam perubahan kebudayaan mereka, karena terlihat bahwa hubungan ini begitu sangat kompleks.
          Menurut kami, dalam era globalisasi atau pasar bebas ini, akan terjadi ledakan kebudayaan yang sangat luarbiasa, biasnya disegala aspek kehidupan masyarakat diseluruh duni yang mungkin pernah disebut oleh Jameson, sebagai (dominasi buday). Dominasi budaya ini pada akhirnya serta merta akan memaksa dan mensubtitusikan setiap nilai-nilai budaya suatu bangsa atau Negara tertentu untuk mengikutinya.
           Didalam globalisasi dan pasar bebas seperti begini, konsep bangsa atau Negara seperti konsep sosial budaya mereka mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam ruang sosial budaya bangsa atau Negara yaitu (ruang ekonomi bangsa atau Negara, ruang budaya bangsa atau Negara, ruang politik bangsa atau Negara) akan dilebur menjadi ruang ekonomi global, ruang budaya global, dan ruang politik global. Inilah masa-masanya yang boleh dikatakan bahwa ruang-ruang bangsa atau Negara akan menjadi runtuh. Yaitu ruang ekonomi bangsa atau Negara, ruang sosial, ruang budaya, dan ruang politik bangsa atau Negara, akan diubahkan atau dilebur kedalam suatu sistem yaitu sistem globalisasi. Salah satu persoalan utama yang perlu diperhatikan lagi bahwa semua ini akan beralih menjadi sesuatu yang global apabila kesemuanya dapat mampu bersaing pada pasar global sebagaimana Negara-negara kapitalisme, akantetapi jikalau tidak mampu bersaing, maka sistem globalisasi ini merupakan suatu sistem yang terpuruk bagi Negara-negara non-kapitalisme. Dengan kata lain bahwa sosial, budaya, ekonomi, politik yang kuat akan tetap ada dan bersaing, tetapi yang lemah atau tidak mampu bersaing, akan hilang atau mengalami suatu diskriminasi sosial, budaya, ekonomi dan politik besar-besaran.
       Segala batasan-batasan sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal, sebagai produksi suatu bangsa sebelumnya yang dikenal sebagai falsafah dan identitas mereka akan diterabas. Tidak ada lagi kononisasi atau institusionalisasi akademisi terhadap produk ini. Menurut kami, pasar global sebagai budaya kapitalisme, karena “semua produk-produk sebuah bangsa atau Negara seperti sosial, budaya, ekonomi dan politik mereka, akan terintegrasi dalam produk-produk global”.
       Pasar global sebagai dominasi budaya kapitalis ini akan memaksa segala sesuatu yang lokal untuk dilebur agar menjadi sesuatu yang global dengan tujuan untuk disejajarkan dengan sesuatu yang global agar supaya mampu menduduki kesetaraan globalisasi sebagai tuntutan utama sehingga mendorong budaya kapitalisme untuk berinovasi yang baru. Era globalisasi ini akan ditandai oleh komodifikasi besar-besaran dihampir seluruh ruang kehidupan, baik terhadap alam fisik maupun terhadap tubuh manusia juga. Dengan kata lain, dominasi pasar global adalah suatu dominasi budaya pasar global yang terjadi secara struktural dengan menampilkan suatu representasi kultural kapitalisme global dan ideologi kapitalisme global.  Hal ini akan semakin menarik bagi kaum kapitalisme sebagai pemain utama, sedangkan kaum non-kapitalisme akan sebagai orang yang merasa didiskriminasikan, dan tergolong kaum yang lemah bahkan disakiti dan inilah suatu tragedi yang memilukan. Kaum non-kapitalis ini secara sosial akan kita sebut  sebagai kaum “konsumen”.
            Ada beberapa elemen-elemen baru dalam globalisasi pasar bebas nanti, yaitu:
Pertama : Akan munculnya formasi-formasi global yang baru, organisasi-organisasi yang bersifat global, dan transglobalisasi yang mendominasi dunia dan monopoli sebagai ruang-ruang lokal sebagai batas-batas tersendiri.
            Kedua : Globalisasi sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam tatanan dunia kapitalisme global yang baru dan ini tidak akan terikat pada satu Negara, tetapi akan memberi suatu nuansa keuntungan kepada Negara tertentu yang mana direpresentasikan dalam bentuk suatu kekuasaan dan pengaruh yang begitu besar ketimbang suatu Negara (non-kapitalis) manapun. Globalisasi ini juga akan berlaku dalam kerja yang memungkinkan adanya eksploitasi besar-besaran yang terus berlanjut terhadap para tenaga ahli dan pekerja dinegara-negara miskin guna mendukung kinerja modal multiglobalisasi. Dalam hal ini akan merujuk bahwa semua akan mengarah kesana dan banyak yang tersedot oleh aliran dunia ketiga yang sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim meliputi krisis buruh tradisional dan kelas elit pada skala global.
  1. TRANSISI BUDAYA-BUDAYA LOKAL NEGARA NON-KAPITALISME DALAM DOMINASI BUDAYA KAPITALISME GLOBAL
         Budaya-budaya lokal Negara-negara non-kapitalisme sekarang ini sebagai budaya yang sedang berada dalam keadaan transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari budaya lokal dan tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju suatu persaingan dalam dominasi budaya kapitalisme global industri moderen yang materialistik. Ditengah budaya-budaya lokal , warna kehidupan budaya tradisionalnya sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan budaya kapitalisme global, walaupun corak kehidupan budaya lokal Negara-negara non-kapitalis tidak lenyap sama sekali. Dalam terminologi keadaan budaya lokal Negara non-kapitalis ini, dikategorikan sebagai budaya yang sedang bergerak dari bentuk kebudayaan yang penuh solidaritas lokal dan rasa memiliki yang hakiki akan terpaksa dileburkan kedalam budaya global. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat sosial lokal dan tingkat sosial global.

         Fenomena kegalauan seperti ini akan tidak berada disini dan tidak pula berada disana, tidak dalam budaya tradisional yang sudah mulai ditinggalkannya dan tidak pula dalam budaya global yang sedang merasukinya. Ada beberapa hal yang akan mempengaruhi ketidak eksistensian budaya lokal Negara-negara non-kapitalisme yaitu:
  1. 1. Penduduk Lokal cepat terpengaruh dan berkecenderungan untuk menkonsumsi budaya Global sebagai sebuah style yang baru.
  2. 2. Ketidak mampuan budaya-budaya lokal non-kapitalis untuk bersaing dalam budaya global kapitalisme.
  3. 3. Adanya penekanan budaya global kapitalisme yang cenderung mendominasi budaya non-kapitalisme sehingga dengan terpaksa budaya non-kapitalisme dihilangkan.
  4. 4. Penerapan aturan-aturan global yang tidak seimbang.
         Budaya local yang terlihat paling cepat dalam perubahan dan ketidak eksistensinya adalah Negara-negara yang suka menkonsumtif. Oleh karena budaya lokal yang sudah banyak mengadopsi budaya konsumtif sehingga untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada budaya lokal tidak mungkin lagi, karena dianggap tidak cocok dan ketinggalan zaman, tetapi untuk menginggalkannya secara keseluruhan juga tidak mungkin, karena model kebudayaan global pun belum begitu jelas dalam sistem gagasan budaya lokal  secara jelas.
       Dalam keadaan seperti itu, membuat budaya-budaya Negara non-kapitalis cenderung untuk menmungut simbol-simbol global budaya kapitalisme baru yang diambil secara sepotong-sepotong dan sementara itu juga dipilihnya sebagai simbol style baru yang ada untuk tetap dipertahankan, walaupun tidak sadar bahwa budaya lokalnya telah terintegrasi. Kelihatannya bahwa Negara non-kapitalis yang kurang berkonsentrasi dan kurang percaya diri dalam mempertahankan keeksistensian budaya local mereka akan tersedot kedalam budaya kapitalis secara gampang, karena kecenderungan dalam mengadopsi sesuatu yang asing sudah membudaya. Mereka akan mengadopsi kedua sistem budaya itu secara bersama, walaupun yang diambil umumnya hanya unsur-unsur budaya yang dipandang hanya bermanfaat guna kepentingan tertentu saja. Unsur-unsur budaya yang diambil dan dipertahankan itu cenderung lebih banyak memuat nuansa kebendaan (materi) dibandingkan dengan makna yang tersembunyi dibalik unsur-unsur budaya itu, akibatnya, beberapa unsur budaya asing yang oleh negara kapitalis sudah dipandang sebagai sesuatu yang sudah harus ditinggalkan, ternyata di Negara non-kapitalis kemungkinan malahan menjadi bagian dari kehidupan baru yang dijalani masyarakat.
          Salah satu ciri dari perilaku konsumtif adalah kecenderungan untuk meninggalkan sesuatu yang menjadi miliknya dan tergiur dengan hal-hal global yang asing. Budaya mengkonsumsi sesuatu ini bukan karena mereka memang betul-betul membutuhkannya, tetapi lebih banyak karena mereka merasa membutuhkannya. Barang yang dikonsumsi itu bukan lagi dimiliki dari fungsi substansialnya, tetapi lebih ditekankan hanya pada makna simbolis yang melekat pada benda itu. Disini fungsi benda itu telah berubah menjadi sesuatu yang mempunyai makna simbolis yang mungkin berkaitan dengan status sosial, perasaan lebih berharga, atau sekedar terperangkap pada budaya primer . karena itu, sering terlihat dalam budaya local non-kapitalis  yang mana menganggap bahwa semakin langka dan terbatas produksi suatu benda, semakin tinggi pula makna simbolis yang melekat padanya. Jadi budaya local Negara non-kapitalis akan terlihat kian berpindah dari memberi barang untuk menjadikan simbol. Diluar sadar,  budaya local Negara-negara non-kapitalis akan menjadi semakin terjajah oleh produk budaya global dan Negara-negara kapitalisme sebagai Negara dunia ketiga yang bermodal dan maju itu, dan semakin teriring pada perilaku konsumtif dan tampaknya perubahan sosial budaya local Negara-negara non-kapitalis cenderung kearah global. Nilai-nilai ini akan tetapi eksis dan mampu bersaing dikancah globalisasi bilamana masyarakatnya tidak cenderung terpengaruhi, tidak mengadopsi sifat-sifat konsumtif, mampu melakukan persaingan pada globalisasi pasar bebas dengan berdiri pada budaya local, tidak tergiur oleh produk-produk global sebagai pengaruh moderen Negara kapitalisme dalam mendominasi dunia pasar bebas.
  1. 1. Tantangan Masa Depan
        Wacana tentang hal ini, sudah lama telah kami amati dengan cermat bahwa memang benar, gejala perubahan soial budaya lokal  yang cenderung kearah yang terintegrasi itu akan terjadi secara cepat bilamana budaya Negara-negara non-kapitalisme tidak mampu berdiri secara eksist dalam mengembang misi local dalam menghadapi globalisasi. Ini dapat dilihat dari pelbagai pernyataan dan informasi serta arus pergerakan arah keinginan yang tampak kita saksikan. Kesadaran akan semakin beratnya tantangan yang dihadapi oleh Negara-negara non-kapitalisme dimasa depan betul-betul sangat dirasakan termanya saat ini. Persaingan akan semakin berat dengan semakin terbukanya kebudayaan lokal terhadap dunia global yang cenderung didominasi oleh Negara-negara kapitalisme. Untuk itu diperlukan manusia yang antara lain mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, disiplin, berwawasan luas, kreatif, punya inisiatif dan prinsipil, untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan itu. Budaya local Negara non-kapitalis harus beranjak dari posisi sebagai konsumen menjadi produsen, dan siap bermain dalam dunia global untuk menyaingi terma kapitalisme. Dari pernyataan yang didasarkan pada pengamatan kami ini, tampak beberapa kalangan menginginkan perubahan yang demikian itu. Kecenderungan arah perubahan kebudayaan local seperti yang dapat disaksikan sekarang ini, sudah pasti akan menjadi kendala serius dalam upaya melanjutkan pembangunan yang sesuai dengan cita-cita setiap Negara-negara non-kapitalis. Karena itu, menjadi suatu tantangan yang tidak ringan untuk menemukan dan meracik resep agar Negara-negara non-kapitalisme jangan sampai kebablasan dengan kecenderungan dominasi budaya kapitalisme yang akan terjadi itu.
        Dalam wujud manusia tunggal yang dapat menjawab tantangan masa depan itu, memang bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan strategi untuk mengkaji kembali secara dinamis nilai-nilai budaya bangsa masing-masing yang dapat digunakan sebagai alat untuk menghadapi tantangan globalisasi. Konsep pewarisan nilai luhur yang selama ini menjadi slogan politik kebudayaan masing-masing Negara, harus dikaji ulang. Pewarisan nilai budaya harus dipahami sebagai suatu proses yang rumit dan tidak sederhana, karena menyangkut semua dimensi dinamika kehidupan masyarakat. Patut pula untuk disadari bahwa terdapat kendala-kendala yang membutuhkan kecermatan yang mendalam dalam proses pewarisan nilai itu.
            Kendala pertama adalah menyangkut penentuan nilai-nilai yang perlu diwariskan, yang sesuai dengan tantangan global yang dihadapi masing-masing bangsa di masa depan. Bangsa –bangsa yang mempunyai ratusan kelompok etnik dengan beragam kebudayaan mempunyai sistem nilai budayanya sendiri-sendiri. Akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk menentukan nilai mana yang akan diwariskan.
           Kedua adalah menyangkut “Agen” yang bertugas untuk mewariskan nilai-nilai luhur itu. Apakah “agen” yang akan mewariskan nilai itu sendiri memahami benar keunggulan nilai budaya lokal, dan meyakinkininya. Untuk meyakininya sebagai ‘sesuatu’ yang patut untuk diwariskan. Hal ini hanya dapat dibuktikan dari sikap dan perilaku para “agen” itu sendiri. Jika pewarisan itu hanya bersifat petuah yang tidak pernah  diwujudkan hasil yang memuaskan. Patut untuk dipahami bahwa pewarisan nilai tidak cukup dengan retorika dan semacamnya itu. Pewarisan nilai akan lebih mudah dilakukan jika diiringi dengan praktik kehidupan. Disinilah pentingnya pelaksanaan hukum (low enforecement order) dalam praktik kehidupan bangsa, namun hal ini tidak akan tercapai jikalau kecenderungan pemerintah dalam emenetapkan hukum-hukum baru banyak menentang nilai-nilai kearifan yang sebagai budaya, dan mendukung sepenuhnya aturan-aturan global sehingga membuat resah masyarakat karena nyaris mencampakkan nilai-nilai budaya lokal sehingga menjadi luntur.
             Ketiga, proses globalisasi yang telah kita rasakan denyutnya dalam arah kehidupan bangsa ini, selain telah membentuk corak budaya masyarakat yang mengarah pada gagasan yang relative sama (Borderless), tetapi juga telah menumbuhkan gelombang perlawanan pada sebagian masyarakat. Akan munculnya kelompok-kelompok sosial baru  dengan system nilainya sendiri, menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari. Hal ini menyebabkan nilai budaya yang ingin diwariskan akan mendapat respons yang beragam pula, dan bahkan kemungkinan akan berbeda antara satu kelompok masyarakat kepada kelompok lainnya, dan mungkin saja hal ini dapat mengganggu keutuhan sebuah bangsa.
              Tentu terdapat kendala lain yang menyertai pewarisan nilai budaya itu. Misalnya seperti Penetapan peraturan-peraturan yang bertentangan atau mengarah untuk penghapusan budaya lokal. Hal ini bagi kami merupakan suatu diskriminasi dan pengabaian terhadap budaya bangsa. Globalisasi akan melakukan hal semacam itu, segala sesuatu yang tergolong dalam budaya local akan dilebur menjadi global, sehingga akan terasa bahwa budaya local Negara non-kapitalisme itu telah diabaikan dan didiskriminasikan oleh monopoli budaya kapitalisme yang mendominasi. Negara-negara non-kapitalisme akan terlihat tidak memiliki  sesuatu yang dikenal “khas” yang merupakan kebanggaannya pada dunia global nanti. Kendala ini perlu menjadi agenda untuk diperbincangkan dengan serius oleh semua pihak yang menyadari akan tantangan masa depan yang semakin runtut dan rumit. Sebagai catatan akhir, perlu di stir sebuah pepatah yang berisi nilai budaya bangsa yang menurut kami perlu dijadikan sebagai renungan dalam upaya pewarisan nilai local pada dunia global. Pepatah itu mengatakan “sekali lancung keujian, seumur hidup orang tidak percaya”. Budaya paternalistic yang fasih dan tebal pada budaya lokal memerlukan keteladanan dari para pemimpinnya, baik pemimpin di tingkat bawah maupun di tingkat puncak. Dengan keteladanan itu unsur-unsur negatif dalam perkembangan kebudayaan local Negara non-kapitalis akan dapat ditanggulangi dan dapat diarahkan kepada budaya yang pasti untuk menyambut proses globalisasi yang telah mulai dirasakan denyutnya dalam urat nadi kehidupan bangsa.
             Dinamika perubahan nilai budaya yang sedang berlangsung secara cepat itu dapat dicermati dari cerminan kehidupan sosial masyarakat setiap negara saat ini, bahwa apakah pelbagai sikap dan perilaku sosial yang sedang berlangsung dalam kehidupan seiring membawa kepada kecemasan ataukah ketenteraman. Praktik kehidupan yang tidak lagi merujuk kepada nilai-nilai tradisional yang selama ini dipandang sebagai pola dasar bagi perilaku sosial lokal telah mengalami pergeseran. Solidaritas eskalasi mobilitas sosial global yang semakin meningkat telah menyebabkan persentuhan antara pelbagai budaya bangsa yang global semakin intens. Kontak sosial yang semakin global antar bangsa-bangsa selain dapat membawa kepada bertambahnya toleransi sosial, tetapi dapat pula menumbuhkan konflik yang dipicu oleh pertukaran sosial global (globalized social exchange) yang tidak berjalan sesuai dengan sosial budaya lokal. Seiring dengan itu, pelbagi fenomena sosial global dan lokal juga ikut menyertai proses perubahan yang sedang berlangsung.
  1. BREGANING ASIA – AFRIKA BERSATU
            Tahun 2010 merupakan tahun dimana penerapan pasar bebas atau globalisasi, yang mana kini saatnya diperhadapkan kepada bangsa-bangsa didunia. Negara-negara yang terabung dalam Konferensi Asia dan Afrika (KAA) kini mulai menunjukkan berganingnya. Asia – Afrika Bersatu, inilah symbol kekuatan yang dibangun oleh para pelopor Konferensi Asia Afrika pada 55 tahun yang lalu setelah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung Indonesia.
           Persatuan Negara-negara Asia Afrika tidak lain adalah karena merasa tergolong dalam Negara-negara non-kapitalisme sehingga telah dilakukan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 itu. Kini Negara-negara persatuan Asia Afrika mulai bangkit untuk melanjutkan apa yang sudah dirilis oleh pendiri itu. Akhirnya pada tahun 2009 telah diadakan Peringatan 55 tahun Konferensi Asia Afrika di Maroko yang mana diprakarsai oleh Prof. Darwis Khudori, seorang Dosen di Universitas Lehafre Prancis, yang dihadiri oleh beberapa utusan Negara-negara dari Afrika dan Asia. Berbagai Pertanyaan, dan kesiapan Afrika dan Asia dalam menghadapi globalisasi-pun dibicarakan dalam kegiatan konferensi ini. Misalnya seperti pernyataan para tokoh-tokoh pelopor Konferensi Asia Afrika yang mengatakan bahwa;
         Pada awal abad ke-20 peradaban Barat terbelah menjadi dua arus utama, yang satu mengalir melalui Washington, yang lain melalui Moskow. Akademisi Jerman, Marx, dan rekan Inggrisnya, Engels, telah merumuskan nilai-nilai dan ilmu mereka tentu saja berdasarkan peradaban yang telah mereka warisi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Jefferson, Lincoln dan Washington. Manifesto Komunis dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika sama-sama berakar pada peradaban Barat.
Namun Asia dan Afrika bukan bagian dari tradisi ini. Sejarah mereka berbeda. Mereka memiliki peradaban tua yang dikenal karena filosofi mereka dan merupakan tempat asal agama-agama besar dunia. Selain itu, Asia dan Afrika dipersatukan oleh sebuah kekuatan yang sama hebatnya dengan peradaban besar yang telah lama mereka alami bersama. Kekuatan itu ialah nasionalisme, reaksi bersama terhadap kolonialisme dan imperialisme yang telah mereka derita.
         Nasionalisme inilah yang telah membawa kami berjuang demi kemerdekaan dan emansipasi. Kami, bangsa-bangsa Asia dan Afrika, telah dipersatukan untuk menyadari bahwa abad ke-20 adalah zaman kami. Kebangkitan kami telah memusatkan perhatian kami kepada pertentangan mendasar antara kolonialisme dan kemerdekaan, antara imperialisme dan emansipasi. Sesungguhnyalah, Perang Dingin adalah peperangan antara dua cabang dari sebatang pohon yang sama dengan akar-akar kebudayaan yang sama, yang kesemuanya unsur-unsur asing bagi Asia dan Afrika.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar