PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME SEBUAH KAJIAN SOSIAL BUDAYA LOKAL DAN GLOBAL
oleh
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT
Abstrak
Paper ini mendiskusikan
tentang kajian akan benturan budaya lokal non-kapitalisme dan
globalisasi pasar bebas sebagai dominasi budaya kapitalisme pada dunia
nanti. Melalui analisis akan pergerakan dan arahnya, penulis
mengungkapkan bahwa dalam penerapan pasar global, akan mengakibatkan
terjadinya peleburan besar-besaran terhadap sosial, budaya, ekonomi dan
politik bangsa atau Negara menjadi sosial, buday, ekonomi dan politik
global. Selain peleburan budaya, akan adanya pengeksploitasian
besar-besaran terhadap tenaga kerja dari Negara-negara non-kapitalisme
oleh kaum kapitalisme untuk mendukung kinerja pemodal multiglobalisasi,
sehingga suatu bangsa atau Negara non-kapitalisme yang tadinya bisa
merangkak perlahan untuk menyaingi Negara-negara kapitalisme dengan satu
atau dua orang tenaga ahli mereka akan menjadi mandeg, karena
kekurangan tenaga ahli yang mampu menggerakkan pergerakan negaranya
dikancah globalisasi.
Kata Kunci : Globalisasi, Pasar Bebas, Budaya Dominasi, Kapitalisme.
- PERBENTURAN ANTARA BUDAYA LOKAL NON-KAPITALISME DENGAN DOMINASI BUDAYA GLOBAL KAPITALISME.
Kajian terhadap globalisasi pasar bebas ini sebagai suatu gejala
dominasi budaya baru. Ini menurut kami bahwa globalisasi pasar bebas
merupakan suatu gejala dominasi budaya yang mana bukan sekedar fenomena
perubahan style atau fashion belaka, melainkan ini
akan menjadi suatu fenomena sejarah. Inti daripada kajian ini adalah
mengungkapkan suatu transformasi sosial simbolik dalam ruang kebudayaan
dengan transformasi historis dalam model kapitalisme global. Model
kapitalime ini merupakan suatu penetrasian dan kolonisasi terhadap
model-model sosial lokal sebagai budaya dari sebuah Negara atau bangsa,
dengan ketidak sadaran (unconciousness), yakni berupa
penghancuran system sosial budaya pra-kapitalis dan kelahiran
globalisasi pasar bebas sebagai budaya kaptalisme yang mendominasi.
Mengikuti akar tahapan perubahan momen pasar global sebagai suatu
pengarahan akan dominasi budaya kapitalisme, maka kami mencoba mengkaji
dengan menganalisis social budaya suatu bangsa atau Negara dengan
mencoba mensejajarkannya pada pasar global yang mana merujuk pada suatu
dominasi budaya yang kapital, bahwa peralihan struktur daripada sosial
budaya suatu Negara atau bangsa akan bergantung pada cepat atau
lambatnya daya cerap bangsa atau Negara itu sendiri dan juga akan
tercermin dalam perubahan kebudayaan mereka, karena terlihat bahwa
hubungan ini begitu sangat kompleks.
Menurut
kami, dalam era globalisasi atau pasar bebas ini, akan terjadi ledakan
kebudayaan yang sangat luarbiasa, biasnya disegala aspek kehidupan
masyarakat diseluruh duni yang mungkin pernah disebut oleh Jameson,
sebagai (dominasi buday). Dominasi budaya ini pada akhirnya
serta merta akan memaksa dan mensubtitusikan setiap nilai-nilai budaya
suatu bangsa atau Negara tertentu untuk mengikutinya.
Didalam globalisasi dan pasar bebas seperti begini, konsep bangsa atau
Negara seperti konsep sosial budaya mereka mengenai pembagian dan
otonomi kerja dalam ruang sosial budaya bangsa atau Negara yaitu (ruang
ekonomi bangsa atau Negara, ruang budaya bangsa atau Negara, ruang
politik bangsa atau Negara) akan dilebur menjadi ruang ekonomi global,
ruang budaya global, dan ruang politik global. Inilah masa-masanya yang
boleh dikatakan bahwa ruang-ruang bangsa atau Negara akan menjadi
runtuh. Yaitu ruang ekonomi bangsa atau Negara, ruang sosial, ruang
budaya, dan ruang politik bangsa atau Negara, akan diubahkan atau
dilebur kedalam suatu sistem yaitu sistem globalisasi. Salah satu
persoalan utama yang perlu diperhatikan lagi bahwa semua ini akan
beralih menjadi sesuatu yang global apabila kesemuanya dapat mampu
bersaing pada pasar global sebagaimana Negara-negara kapitalisme,
akantetapi jikalau tidak mampu bersaing, maka sistem globalisasi ini
merupakan suatu sistem yang terpuruk bagi Negara-negara non-kapitalisme.
Dengan kata lain bahwa sosial, budaya, ekonomi, politik yang kuat akan
tetap ada dan bersaing, tetapi yang lemah atau tidak mampu bersaing,
akan hilang atau mengalami suatu diskriminasi sosial, budaya, ekonomi
dan politik besar-besaran.
Segala batasan-batasan sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal,
sebagai produksi suatu bangsa sebelumnya yang dikenal sebagai falsafah
dan identitas mereka akan diterabas. Tidak ada lagi kononisasi atau
institusionalisasi akademisi terhadap produk ini. Menurut kami, pasar
global sebagai budaya kapitalisme, karena “semua produk-produk sebuah
bangsa atau Negara seperti sosial, budaya, ekonomi dan politik mereka,
akan terintegrasi dalam produk-produk global”.
Pasar global sebagai dominasi budaya kapitalis ini akan memaksa segala
sesuatu yang lokal untuk dilebur agar menjadi sesuatu yang global dengan
tujuan untuk disejajarkan dengan sesuatu yang global agar supaya mampu
menduduki kesetaraan globalisasi sebagai tuntutan utama sehingga
mendorong budaya kapitalisme untuk berinovasi yang baru. Era globalisasi
ini akan ditandai oleh komodifikasi besar-besaran dihampir seluruh
ruang kehidupan, baik terhadap alam fisik maupun terhadap tubuh manusia
juga. Dengan kata lain, dominasi pasar global adalah suatu dominasi
budaya pasar global yang terjadi secara struktural dengan menampilkan
suatu representasi kultural kapitalisme global dan ideologi kapitalisme
global. Hal ini akan semakin menarik bagi kaum kapitalisme sebagai
pemain utama, sedangkan kaum non-kapitalisme akan sebagai orang yang
merasa didiskriminasikan, dan tergolong kaum yang lemah bahkan disakiti
dan inilah suatu tragedi yang memilukan. Kaum non-kapitalis ini secara
sosial akan kita sebut sebagai kaum “konsumen”.
Ada beberapa elemen-elemen baru dalam globalisasi pasar bebas nanti, yaitu:
Pertama
: Akan munculnya formasi-formasi global yang baru,
organisasi-organisasi yang bersifat global, dan transglobalisasi yang
mendominasi dunia dan monopoli sebagai ruang-ruang lokal sebagai
batas-batas tersendiri.
Kedua :
Globalisasi sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam tatanan dunia
kapitalisme global yang baru dan ini tidak akan terikat pada satu
Negara, tetapi akan memberi suatu nuansa keuntungan kepada Negara
tertentu yang mana direpresentasikan dalam bentuk suatu kekuasaan dan
pengaruh yang begitu besar ketimbang suatu Negara (non-kapitalis)
manapun. Globalisasi ini juga akan berlaku dalam kerja yang memungkinkan
adanya eksploitasi besar-besaran yang terus berlanjut terhadap para
tenaga ahli dan pekerja dinegara-negara miskin guna mendukung kinerja
modal multiglobalisasi. Dalam hal ini akan merujuk bahwa semua akan
mengarah kesana dan banyak yang tersedot oleh aliran dunia ketiga yang
sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim
meliputi krisis buruh tradisional dan kelas elit pada skala global.
- TRANSISI BUDAYA-BUDAYA LOKAL NEGARA NON-KAPITALISME DALAM DOMINASI BUDAYA KAPITALISME GLOBAL
Budaya-budaya
lokal Negara-negara non-kapitalisme sekarang ini sebagai budaya yang
sedang berada dalam keadaan transisional. Mereka sekarang sedang
bergerak dari budaya lokal dan tradisional yang penuh dengan nuansa
spiritualistik menuju suatu persaingan dalam dominasi budaya kapitalisme
global industri moderen yang materialistik. Ditengah budaya-budaya
lokal , warna kehidupan budaya tradisionalnya sudah terasa dalam denyut
jantung kehidupan budaya kapitalisme global, walaupun corak kehidupan
budaya lokal Negara-negara non-kapitalis tidak lenyap sama sekali. Dalam
terminologi keadaan budaya lokal Negara non-kapitalis ini,
dikategorikan sebagai budaya yang sedang bergerak dari bentuk kebudayaan
yang penuh solidaritas lokal dan rasa memiliki yang hakiki akan
terpaksa dileburkan kedalam budaya global. Dalam kondisi seperti ini,
kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat sosial
lokal dan tingkat sosial global.
Fenomena kegalauan seperti ini akan tidak berada disini dan tidak pula
berada disana, tidak dalam budaya tradisional yang sudah mulai
ditinggalkannya dan tidak pula dalam budaya global yang sedang
merasukinya. Ada beberapa hal yang akan mempengaruhi ketidak
eksistensian budaya lokal Negara-negara non-kapitalisme yaitu:
- 1. Penduduk Lokal cepat terpengaruh dan berkecenderungan untuk menkonsumsi budaya Global sebagai sebuah style yang baru.
- 2. Ketidak mampuan budaya-budaya lokal non-kapitalis untuk bersaing dalam budaya global kapitalisme.
- 3. Adanya penekanan budaya global kapitalisme yang cenderung mendominasi budaya non-kapitalisme sehingga dengan terpaksa budaya non-kapitalisme dihilangkan.
- 4. Penerapan aturan-aturan global yang tidak seimbang.
Budaya
local yang terlihat paling cepat dalam perubahan dan ketidak
eksistensinya adalah Negara-negara yang suka menkonsumtif. Oleh karena
budaya lokal yang sudah banyak mengadopsi budaya konsumtif sehingga
untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada budaya lokal tidak mungkin
lagi, karena dianggap tidak cocok dan ketinggalan zaman, tetapi untuk
menginggalkannya secara keseluruhan juga tidak mungkin, karena model
kebudayaan global pun belum begitu jelas dalam sistem gagasan budaya
lokal secara jelas.
Dalam keadaan seperti itu,
membuat budaya-budaya Negara non-kapitalis cenderung untuk menmungut
simbol-simbol global budaya kapitalisme baru yang diambil secara
sepotong-sepotong dan sementara itu juga dipilihnya sebagai simbol style
baru yang ada untuk tetap dipertahankan, walaupun tidak sadar bahwa
budaya lokalnya telah terintegrasi. Kelihatannya bahwa Negara
non-kapitalis yang kurang berkonsentrasi dan kurang percaya diri dalam
mempertahankan keeksistensian budaya local mereka akan tersedot kedalam
budaya kapitalis secara gampang, karena kecenderungan dalam mengadopsi
sesuatu yang asing sudah membudaya. Mereka akan mengadopsi kedua sistem
budaya itu secara bersama, walaupun yang diambil umumnya hanya
unsur-unsur budaya yang dipandang hanya bermanfaat guna kepentingan
tertentu saja. Unsur-unsur budaya yang diambil dan dipertahankan itu
cenderung lebih banyak memuat nuansa kebendaan (materi) dibandingkan
dengan makna yang tersembunyi dibalik unsur-unsur budaya itu, akibatnya,
beberapa unsur budaya asing yang oleh negara kapitalis sudah dipandang
sebagai sesuatu yang sudah harus ditinggalkan, ternyata di Negara
non-kapitalis kemungkinan malahan menjadi bagian dari kehidupan baru
yang dijalani masyarakat.
Salah satu ciri
dari perilaku konsumtif adalah kecenderungan untuk meninggalkan sesuatu
yang menjadi miliknya dan tergiur dengan hal-hal global yang asing.
Budaya mengkonsumsi sesuatu ini bukan karena mereka memang betul-betul
membutuhkannya, tetapi lebih banyak karena mereka merasa membutuhkannya.
Barang yang dikonsumsi itu bukan lagi dimiliki dari fungsi
substansialnya, tetapi lebih ditekankan hanya pada makna simbolis yang
melekat pada benda itu. Disini fungsi benda itu telah berubah menjadi
sesuatu yang mempunyai makna simbolis yang mungkin berkaitan dengan
status sosial, perasaan lebih berharga, atau sekedar terperangkap pada
budaya primer . karena itu, sering terlihat dalam budaya local
non-kapitalis yang mana menganggap bahwa semakin langka dan terbatas
produksi suatu benda, semakin tinggi pula makna simbolis yang melekat
padanya. Jadi budaya local Negara non-kapitalis akan terlihat kian
berpindah dari memberi barang untuk menjadikan simbol. Diluar sadar,
budaya local Negara-negara non-kapitalis akan menjadi semakin terjajah
oleh produk budaya global dan Negara-negara kapitalisme sebagai Negara
dunia ketiga yang bermodal dan maju itu, dan semakin teriring pada
perilaku konsumtif dan tampaknya perubahan sosial budaya local
Negara-negara non-kapitalis cenderung kearah global. Nilai-nilai ini
akan tetapi eksis dan mampu bersaing dikancah globalisasi bilamana
masyarakatnya tidak cenderung terpengaruhi, tidak mengadopsi sifat-sifat
konsumtif, mampu melakukan persaingan pada globalisasi pasar bebas
dengan berdiri pada budaya local, tidak tergiur oleh produk-produk
global sebagai pengaruh moderen Negara kapitalisme dalam mendominasi
dunia pasar bebas.
- 1. Tantangan Masa Depan
Wacana
tentang hal ini, sudah lama telah kami amati dengan cermat bahwa memang
benar, gejala perubahan soial budaya lokal yang cenderung kearah yang
terintegrasi itu akan terjadi secara cepat bilamana budaya Negara-negara
non-kapitalisme tidak mampu berdiri secara eksist dalam mengembang misi
local dalam menghadapi globalisasi. Ini dapat dilihat dari pelbagai
pernyataan dan informasi serta arus pergerakan arah keinginan yang
tampak kita saksikan. Kesadaran akan semakin beratnya tantangan yang
dihadapi oleh Negara-negara non-kapitalisme dimasa depan betul-betul
sangat dirasakan termanya saat ini. Persaingan akan semakin berat dengan
semakin terbukanya kebudayaan lokal terhadap dunia global yang
cenderung didominasi oleh Negara-negara kapitalisme. Untuk itu
diperlukan manusia yang antara lain mempunyai rasa percaya diri yang
tinggi, disiplin, berwawasan luas, kreatif, punya inisiatif dan
prinsipil, untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan itu. Budaya
local Negara non-kapitalis harus beranjak dari posisi sebagai konsumen
menjadi produsen, dan siap bermain dalam dunia global untuk menyaingi
terma kapitalisme. Dari pernyataan yang didasarkan pada pengamatan kami
ini, tampak beberapa kalangan menginginkan perubahan yang demikian itu.
Kecenderungan arah perubahan kebudayaan local seperti yang dapat
disaksikan sekarang ini, sudah pasti akan menjadi kendala serius dalam
upaya melanjutkan pembangunan yang sesuai dengan cita-cita setiap
Negara-negara non-kapitalis. Karena itu, menjadi suatu tantangan yang
tidak ringan untuk menemukan dan meracik resep agar Negara-negara
non-kapitalisme jangan sampai kebablasan dengan kecenderungan dominasi budaya kapitalisme yang akan terjadi itu.
Dalam
wujud manusia tunggal yang dapat menjawab tantangan masa depan itu,
memang bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan strategi untuk mengkaji
kembali secara dinamis nilai-nilai budaya bangsa masing-masing yang
dapat digunakan sebagai alat untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Konsep pewarisan nilai luhur yang selama ini menjadi slogan politik
kebudayaan masing-masing Negara, harus dikaji ulang. Pewarisan nilai
budaya harus dipahami sebagai suatu proses yang rumit dan tidak
sederhana, karena menyangkut semua dimensi dinamika kehidupan
masyarakat. Patut pula untuk disadari bahwa terdapat kendala-kendala
yang membutuhkan kecermatan yang mendalam dalam proses pewarisan nilai
itu.
Kendala pertama adalah menyangkut
penentuan nilai-nilai yang perlu diwariskan, yang sesuai dengan
tantangan global yang dihadapi masing-masing bangsa di masa depan.
Bangsa –bangsa yang mempunyai ratusan kelompok etnik dengan beragam
kebudayaan mempunyai sistem nilai budayanya sendiri-sendiri. Akan
menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk menentukan nilai mana
yang akan diwariskan.
Kedua adalah
menyangkut “Agen” yang bertugas untuk mewariskan nilai-nilai luhur itu.
Apakah “agen” yang akan mewariskan nilai itu sendiri memahami benar
keunggulan nilai budaya lokal, dan meyakinkininya. Untuk meyakininya
sebagai ‘sesuatu’ yang patut untuk diwariskan. Hal ini hanya dapat
dibuktikan dari sikap dan perilaku para “agen” itu sendiri. Jika
pewarisan itu hanya bersifat petuah yang tidak pernah diwujudkan hasil
yang memuaskan. Patut untuk dipahami bahwa pewarisan nilai tidak cukup
dengan retorika dan semacamnya itu. Pewarisan nilai akan lebih mudah
dilakukan jika diiringi dengan praktik kehidupan. Disinilah pentingnya
pelaksanaan hukum (low enforecement order) dalam praktik
kehidupan bangsa, namun hal ini tidak akan tercapai jikalau
kecenderungan pemerintah dalam emenetapkan hukum-hukum baru banyak
menentang nilai-nilai kearifan yang sebagai budaya, dan mendukung
sepenuhnya aturan-aturan global sehingga membuat resah masyarakat karena
nyaris mencampakkan nilai-nilai budaya lokal sehingga menjadi luntur.
Ketiga,
proses globalisasi yang telah kita rasakan denyutnya dalam arah
kehidupan bangsa ini, selain telah membentuk corak budaya masyarakat
yang mengarah pada gagasan yang relative sama (Borderless),
tetapi juga telah menumbuhkan gelombang perlawanan pada sebagian
masyarakat. Akan munculnya kelompok-kelompok sosial baru dengan system
nilainya sendiri, menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari. Hal ini
menyebabkan nilai budaya yang ingin diwariskan akan mendapat respons
yang beragam pula, dan bahkan kemungkinan akan berbeda antara satu
kelompok masyarakat kepada kelompok lainnya, dan mungkin saja hal ini
dapat mengganggu keutuhan sebuah bangsa.
Tentu
terdapat kendala lain yang menyertai pewarisan nilai budaya itu.
Misalnya seperti Penetapan peraturan-peraturan yang bertentangan atau
mengarah untuk penghapusan budaya lokal. Hal ini bagi kami merupakan suatu diskriminasi dan pengabaian terhadap budaya bangsa.
Globalisasi akan melakukan hal semacam itu, segala sesuatu yang
tergolong dalam budaya local akan dilebur menjadi global, sehingga akan
terasa bahwa budaya local Negara non-kapitalisme itu telah diabaikan dan
didiskriminasikan oleh monopoli budaya kapitalisme yang mendominasi.
Negara-negara non-kapitalisme akan terlihat tidak memiliki sesuatu yang
dikenal “khas” yang merupakan kebanggaannya pada dunia global nanti.
Kendala ini perlu menjadi agenda untuk diperbincangkan dengan serius
oleh semua pihak yang menyadari akan tantangan masa depan yang semakin
runtut dan rumit. Sebagai catatan akhir, perlu di stir sebuah pepatah
yang berisi nilai budaya bangsa yang menurut kami perlu dijadikan
sebagai renungan dalam upaya pewarisan nilai local pada dunia global.
Pepatah itu mengatakan “sekali lancung keujian, seumur hidup orang tidak percaya”.
Budaya paternalistic yang fasih dan tebal pada budaya lokal memerlukan
keteladanan dari para pemimpinnya, baik pemimpin di tingkat bawah maupun
di tingkat puncak. Dengan keteladanan itu unsur-unsur negatif dalam
perkembangan kebudayaan local Negara non-kapitalis akan dapat
ditanggulangi dan dapat diarahkan kepada budaya yang pasti untuk
menyambut proses globalisasi yang telah mulai dirasakan denyutnya dalam
urat nadi kehidupan bangsa.
Dinamika perubahan
nilai budaya yang sedang berlangsung secara cepat itu dapat dicermati
dari cerminan kehidupan sosial masyarakat setiap negara saat ini, bahwa
apakah pelbagai sikap dan perilaku sosial yang sedang berlangsung dalam
kehidupan seiring membawa kepada kecemasan ataukah ketenteraman. Praktik
kehidupan yang tidak lagi merujuk kepada nilai-nilai tradisional yang
selama ini dipandang sebagai pola dasar bagi perilaku sosial lokal telah
mengalami pergeseran. Solidaritas eskalasi mobilitas sosial global yang
semakin meningkat telah menyebabkan persentuhan antara pelbagai budaya
bangsa yang global semakin intens. Kontak sosial yang semakin global
antar bangsa-bangsa selain dapat membawa kepada bertambahnya toleransi
sosial, tetapi dapat pula menumbuhkan konflik yang dipicu oleh
pertukaran sosial global (globalized social exchange) yang
tidak berjalan sesuai dengan sosial budaya lokal. Seiring dengan itu,
pelbagi fenomena sosial global dan lokal juga ikut menyertai proses
perubahan yang sedang berlangsung.
- BREGANING ASIA – AFRIKA BERSATU
Tahun
2010 merupakan tahun dimana penerapan pasar bebas atau globalisasi,
yang mana kini saatnya diperhadapkan kepada bangsa-bangsa didunia.
Negara-negara yang terabung dalam Konferensi Asia dan Afrika (KAA) kini
mulai menunjukkan berganingnya. Asia – Afrika Bersatu, inilah symbol
kekuatan yang dibangun oleh para pelopor Konferensi Asia Afrika pada 55
tahun yang lalu setelah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di
Bandung Indonesia.
Persatuan Negara-negara Asia
Afrika tidak lain adalah karena merasa tergolong dalam Negara-negara
non-kapitalisme sehingga telah dilakukan Konferensi Asia Afrika pada
tahun 1955 itu. Kini Negara-negara persatuan Asia Afrika mulai bangkit
untuk melanjutkan apa yang sudah dirilis oleh pendiri itu. Akhirnya pada
tahun 2009 telah diadakan Peringatan 55 tahun Konferensi Asia Afrika di
Maroko yang mana diprakarsai oleh Prof. Darwis Khudori, seorang Dosen
di Universitas Lehafre Prancis, yang dihadiri oleh beberapa utusan
Negara-negara dari Afrika dan Asia. Berbagai Pertanyaan, dan kesiapan
Afrika dan Asia dalam menghadapi globalisasi-pun dibicarakan dalam
kegiatan konferensi ini. Misalnya seperti pernyataan para tokoh-tokoh
pelopor Konferensi Asia Afrika yang mengatakan bahwa;
Pada
awal abad ke-20 peradaban Barat terbelah menjadi dua arus utama, yang
satu mengalir melalui Washington, yang lain melalui Moskow. Akademisi
Jerman, Marx, dan rekan Inggrisnya, Engels, telah merumuskan nilai-nilai
dan ilmu mereka tentu saja berdasarkan peradaban yang telah mereka
warisi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Jefferson, Lincoln dan
Washington. Manifesto Komunis dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika
sama-sama berakar pada peradaban Barat.
Namun
Asia dan Afrika bukan bagian dari tradisi ini. Sejarah mereka berbeda.
Mereka memiliki peradaban tua yang dikenal karena filosofi mereka dan
merupakan tempat asal agama-agama besar dunia. Selain itu, Asia dan
Afrika dipersatukan oleh sebuah kekuatan yang sama hebatnya dengan
peradaban besar yang telah lama mereka alami bersama. Kekuatan itu ialah
nasionalisme, reaksi bersama terhadap kolonialisme dan imperialisme
yang telah mereka derita.
Nasionalisme
inilah yang telah membawa kami berjuang demi kemerdekaan dan
emansipasi. Kami, bangsa-bangsa Asia dan Afrika, telah dipersatukan
untuk menyadari bahwa abad ke-20 adalah zaman kami. Kebangkitan kami
telah memusatkan perhatian kami kepada pertentangan mendasar antara
kolonialisme dan kemerdekaan, antara imperialisme dan emansipasi.
Sesungguhnyalah, Perang Dingin adalah peperangan antara dua cabang dari
sebatang pohon yang sama dengan akar-akar kebudayaan yang sama, yang
kesemuanya unsur-unsur asing bagi Asia dan Afrika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar