GLOBALISASI DAN DIALOG ANTAR BUDAYA - SEBUAH KAJIAN SOSIAL
Oleh
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT
DOMAIN YSKP - PAPUA BARAT
ABSTRAK
Paper ini mendiskusikan tiga hal inti
dalam jantung globalisasi dan dialog antar budaya, yaitu pertama: dialog sebagai syarat formasi identitas, kedua;
dialog mengandaikan bahasa sebagai media
untuk saling mengerti. Ketiga; konstruksi
identitas dalam dialog selalu berhubungan dengan nilai-nilai utama menjadi
peduli bangsa manusia.
Kata kuci: Globalisasi, Dialog, Identitas,
bahasa, bangsa manusia.
GLOBALISASI
DAN DIALOG ANTARBUDAYA
Lewat
kendaraan globalisasi, dunia kini ditandai oleh sebuah masyarakat moderen yang
multikultural. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dalam globalisasi adalah
pertemuan antarbudaya. Apabila ditilik lebih dalam, globalisasi memungkinkan
perubahan budaya dalam pertemuan antarbudaya. Sejauh mana perubahan itu terjadi
akan tergantung pada bagaimana budaya-budaya mengembangkat siasat dan strategi
dalam menyikapi pertemuan itu.
Mengikuti
karakter-karakter globalisasi yang telah saya kemukakan pada abstrak, sejauh
pertemuan antar budaya dipertimbangkan, globalisasi menghantar budaya-budaya
pada sebuah persimpangan jalan: di suatu pihak, tertutup pada kemungkinan terkontaminasi
oleh budaya lain akan memungkinkan pluralitas budaya, tetapi mencegah
kemungkinan dialog antar budaya. Dilain pihak, terbuka pada perubahan budaya
memnungkinkan kesempatan dialog antar budaya tetapi mengancam keutuhan dan
kelangsungan budaya-budaya lokal.
Diperisimpangan
ini, tak jarang suatu kode budaya tertentu sudah tidak ada lagi dalam pertemuan
antarbudaya, sehinga yang diperlukan adalah kreatifitas aktor budaya untuk
menyiasati pertemuan antarbudaya.
Meskipun
demikian, baik mereka yang mendukiung globalisasi maupun yang skeptis atas
globalisasi sebagai konsep sama-sama berpendapat bahwa dalam masyarakat moderen
yang multi kultural, hubungan antar budaya global dan budaya lokal sangat
penting.
Bila
demikian, bagaimana pertemuan antar budaya dalam globalisasi bisa dipahami? dalam
era dimana pluralitas budaya merupakan peristiwa penting yang mendefinisikan
zaman kita, identitas selalu menjadi sebuah pertanyaan penting secara khusus
dalam perjumpaan antar orang dengan latar belakang budaya dan agama yang
berbeda. Sebagaimana telah disampaikan diatas bahwa perjumpaan budaya ini pada
dasarnya merupakan karakteristik utama moderenitas.
Menurut
Jonathan Sacks, ‘’salah satu transformasi besar dari abad ke-20 menuju abad
ke-21 adalah kenyataan bahwa sementara abad ke-20 didominasi oleh politik iedeologi, sedangkan di abad ke-21 kita
memasuki sebuah abad politik identitas (Sacks, 2002:10). Sementara pertemuan
antar budaya merupakan sebuah tantangan dan juga masalah bagi formasi identitas
di abad globalisasi, pertemuan itu merupakan juga sebuah kesempatan untuk
mencari jalan-jalan menujupemahaman dan strategi yang tepat untuk hidup
bersama. Hemat saya, tidak ada usaha untuk menganggapi tantangan pluralitas
budaya dan agama yang lebih dialog antarbudaya.
Klaim
saya atas dialog antarbudaya dalam perjumpaan budaya-budaya ini diterangi
pertimbangan filosofis.budaya merupakan sebuah tantangan dan juga masalah bagi
formasi identitas di abad globalisasi, pertemuan itu merupakan juga sebuah
kesempatan untuk mencari jalan-jalan menujupemahaman dan strategi yang tepat
untuk hidup bersama. Hemat saya, tidak ada usaha untuk menganggapi tantangan
pluralitas budaya dan agama yang lebih dialog antarbudaya.
Klaim
saya atas dialog antarbudaya dalam perjumpaan budaya-budaya ini diterangi
pertimbangan filosofis yang dilekatkan oleh
satu filusuf dan tokoh multikulturalis yakni Charles Tylor (1994). Tylor
membentangkan idenya tentang pendekatan dialogis antarbudaya ketika ia
berbicara tentang multikulturalisme sebagai sebuah politik pengakuan (politics of recognitions). Bagi Tylor,
ketika kita berbicara tentang politik pengakuan atas eksistensi budaya-budaya,
kita berhadapan dengan dua konsep yang sangat berhubungan yakni martabat yang
sama (equal dignity) dan penghormatan
yang sama (equal respect) (Tylor,
1994; Modood, 2007:51-53).
Konsep
martabat yang sama berhubugnan dengan martabat manusia yang pada dasarnya sama
apapun budaya, agama, dan warna kulit. Karena martabat yang sama ini, setiap
orang patut diakui hak-haknya yang vital dan mendasar. Dengan kata lain, konsep
martabat yang sama berhubungan dengan kesamaan
antar manusia. Konsep ini memang penting, tetapi tidaklah cukup
mempertimbangkan kesamaan sebagai basis politik pengakuan. Karena itu, Tylor
mengajukan konsep penghormatan yang sama. Bila konsep martabat yang sama
berhubungan dengan kesamaan, konsep
penghargaan yang sama berhubungan dengan pemahaman atas perbedaan antar manusia dan budaya sebagai faktor penting dalam
menggagasi konsep institusi hubungan yang sama antarindividu dan budaya.
Hemat
saya, ada tiga pengandaian utama dalam pendekatan dialogis antarbudaya yang
diajukan, yaitu:
1.
Pertama
Dialog merupakan syarat awal dalam formasi
identitas. Seperti telah disebutkan, identitas adalah salah satu isu sentral
dalam masyarakat pluralistik. Identitas adalah sumber makna hidup dan
pengalaman seseorang atau kelompok masyarakat. Karena identitas berhubungan
dengan makna hidup dan pengalaman, konstruksi identitas menentukan juga cara
orang berpikir tentang ‘siapakah mereka’, ‘dari mana mereka berasal’, ‘bagaimana
seharusnya mereka hidup atau coba menhidupi hidup mereka menurut jawaban-jawaban
paling tepat yang mereka temukan dalam hidup’.
Proses
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu merupakan sebuah proses mengartikan
dan memaknakan identitas individual dan identitas kolektif. Proses ini hanya
mungkin terjadi lewat perjumpaan dialogis dengan yang lain. Dengan kata lain,
konstruksi identitas selalu terjadi dalam konteks hubungan, dialog dan
pertukaran pemahaman dengan pihak lain. Karena itu, menurut kami, dialog dan
hubungan yang terbuka adalah kuci dan alat bagi penemuan diri dalam budaya
otentisitas.
Ketika
status dialog dalam hidup publik dipertimbangkan, sebaiknya dialog adalah
kewajiban pertama dalam kewarganegaraan setiap warga negara. Dialog karena itu
sangat sentral dalam formasi identitas dan politik hidup publik. Atau dengan
kata lain, dialog adalah aksi sosial dengan mana aktor-aktor sosial membangun
ikatan yang kuat antara satu dengan yang lain. Lebih lanjut, kodrat dialog
menyandang di dalamnya benih-benih harapan yang memastikan bahwa ‘no man is an island’ di mana hidup dan
esistensi manusia bukanlah sebuah peristiwa yang menyengsarakan karena
kesendirian tetapi sebuah peristiwa dalam hubungan dengan hidup bersama yang
pantas dirayakan bersama dengan yang lain.
Meskipun demikian, hubungan antara konstruksi
identitas dan pertukaran dialogis bukanlah tanpa pertanyaan. Pendekatan-pendekatan
dari aliran teori kritis, misalnya, sering bertanya tentang siapa yang
mengkonstruksi identitas individual dan kolektif, dan untuk siapa atau untuk
apa konstruksi itu diperuntukkan. Dengan mengangkat pertanyaan ini, kadang
masyarakat dipersalahkan dengan tuduhan bahwa identitas dikonstruksi sedemikian
mungkin untuk melayani kepentingan-kepentingan tersembunyi. Menangapi kritik
itu, saya berpendapat bahwa kritik ini mengabaikan aspek relasional dan karena
itu mengasingkan hubungan dinamis antara seorang individual atau satu kelompok
dengan masyarakat. Ide dialog pada dasarnya mengakomodasi relasi dinamis ini
dan karena itu dialog menerjemahkan martabat perbedaan antarindividu dan
budaya.
2.
KEDUA
Dialog
mengandaikan bahasa sebagai media untuk saling mengerti. Bahasa adalah hal yang
sangat mendasar dalam hidup manusia dan penggunaannya selalu bersifat sosial
dan politis dalam arti membentuk cara-cara interaksi manusia. Lebih dari itu,
bahasa adalah satu bidang di mana pengetahuan, pemahaman, dan penafsiran kita
atas dunia sosial tercipta dan terbentuk secara aktif. “penggunaan bahasa ada
melalui dialog dengan masyarakat: bahasa dihasilkan masyarakat dan (melalui efek
penggunaan bahasa pada manusia) bahasa terus saja membantu untuk menciptakan
masyarakat secara baru. Bahasa pertama mewakili realita sosial dan kedua
mempunyai sumbangan penting demi produksi dan reproduksi realitas sosial atau
hidup sosial”. Istilah ‘bahasa-bahasa manusia’, sebagaimana disarankan Tylor,
meliputi segala bentuk ekpresi manusia seperti seni, musik dan gerak rakyat. Dialog
membutuhkan bahasa untuk memungkinkan orang atau naggota masyarakat untuk
saling mengerti. Dengan demikian bahasa sebenarnya sebagai dasar dialogis.
Melalui
bingkai dialog, seseorang bersama orang lain bukan lagi dua entitas yang
berbeda karena keduanya selalu ada dalam hubungan antar yang satu dengan yang
lain. Kesimpulannya jelas: jika bahasa pada dasarnya adalah sosial terutama
dalam membentuk interaksi sosial manusia, maka eksistensi manusia tidak bisa
berpaling dan melarikan diri dari dialog. Dengan kata lain, bahwa dengan
menginvestasi pada dialog, hubungan sosial dipertahankan.
3.
KETIGA
Kondstruksi
identitas dalam dialog selalu berhubungan dengan nilai-nilai utama yang menjadi
peduli bangsa manusia. Dengan kata lain, motif dari dan demi dialog adalah
tantangan dan problem bersama yang dihadapi bangsa manusia dalam hidup bersama.
Sejauh kodrat manusia dipertimbangkan, persoalan yang senantiasa muncul adalah
bagaimana membangun jembatan yang kuat antara kesamaan martabat manusa dan
perbedaan praktis dalam budaya hidup.
Kesimpulan
Dapat dilihat bahwa globalisasi dikemudikan oleh teknologi, ekonomi, politik,
dan agama, sedangkan budaya-etnis lain dipaksakan harus mengetahui bahasa
tertentu, dan elemen globalisasi tertentu sehingga budaya itu diserap oleh
kekuatan-kekuatan itu.
Semuanya berawal dari dialogis. Dengan dialogis seseorang mempengaruhi orang
lain untuk mengikuti ide, gagasan, keinginan, kepentingan dll. Dialogis itu
tidak membutuhkan pertemuan langsung tetapi melalui media seperti
internet, tv, telephon dll.
Seseorang dapat mempengaruhi budaya lain atau dapat mengikuti budaya lain
melalui elemen globalisasi. Dia membuka diri dengan menerima budaya lain
diawalinya dengan dialogis (conect communications).
Dapat dilihat bahwa globalisasi dikemudikan
oleh teknologi, ekonomi, politik, dan agama, yang dipaksakan harus mengetahui
bahasa tertentu, dan elemen globalisasi tertentu sehingga budaya itu diserap
oleh kekuatan-kekuatan itu.
Semuanya
berawal dari dialogis. Dengan dialogis seseorang mempengaruhi orang lain untuk
mengikuti ide, gagasan, keinginan, kepentingan dll. Dialogis itu tidak
membutuhkan pertemuan langsung tetapi melalui media seperti internet, tv, telephon dll.
Seseorang
dapat mempengaruhi budaya lain atau dapat mengikuti budaya lain melalui elemen
globalisasi. Dia membuka diri dengan menerima budaya lain diawalinya dengan
dialogis (conect communications).